Langsung ke konten utama

Corona dan Keresahan yang Disalahartikan

              (Sumber gambar Canva.com)

Woks

Pasca ditetapkannya corona (COVID-19) menjadi bencana Nasional oleh Pemerintah saat itulah muncul keresahan dan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Sosialisasi akan kewaspadaan wabah corona pun dilakukan diberbagai daerah, termasuk menetapkan kebijakan belajar di rumah bagi institusi pendidikan dari semua jenjang. Bahkan jika keadaan belum stabil ada wacana akan me-lock down beberapa kota, tentu keputusan itu didasari alasan yang kuat. Baru saja upaya pertama dilakukan, kita bisa melihat seketika lingkungan terdekat menjadi lengang dari kendaraan. Aktivitas sedikit terlihat sepi dan udara sedikit terasa sejuk.

Walaupun keresahan merebaknya corona sudah sampai ke mana-mana termasuk desa, setidaknya kita sedikit bernapas lega bahwa ada penyintas yang juga dinyatakan sembuh. Lalu mereka menghimbau untuk tetap tenang dan tetap jaga kondisi tubuh sesuai anjuran yang telah diinformasikan. Intinya jangan sampai terprovokasi pihak-pihak yang tak bertanggungjawab. Sebab beberapa media memberitakan hal-hal yang miring terkait pasien. Dampaknya ketakutan merebak di kalangan masyarakat. Bahkan keresahan itu ganda yaitu antara corona dan rasa takut. Padahal dari sini kita hanya perlu waspada dan tetap tenang.

Pertarungan antara agamawan dan ahli kesehatan. 

Terkait corona tentu banyak kalangan yang angkat bicara, tak terkecuali kalangan agamawan dan ahli kesehatan. Tentu kita akan tau bahwa pasti ada silang pendapat antara keduanya. Polarisasi keduanya sebenarnya sama-sama melihat dari sudut pandang masing-masing. Sehingga dualitas pendapat yang berbeda itu tidak akan menemui titik temu kecuali karena sebuah pertemuan. Kata ahli kesehatan tingkat kewaspadaan harus dinaikkan, menjaga pola hidup bersih, pakai masker, hindari kontak sosial berlebihan, jangan berkerumun, sering cuci tangan, mengkonsumsi vitamin, hingga meliburkan sekolah sekitar dua pekan. Tujuan semua itu adalah netralisir virus, mengisolasi bagi yang terdampak, memutus mata rantai virus, dan memulihkan lingkungan sekitar. Hal-hal yang telah diupayakan itu diberbagai negara telah terbukti menekan angka terkena virus corona.

Lalu kalangan agamawan berpendapat bahwa waspada boleh saja akan tetapi jangan sampai fanatik berlebihan, alih-alih corona telah menyebar kepada siapa saja seolah-olah menganggap bahwa masker, pola hidup atau obat-obatan tertentu menjadi hal yang utama. Padahal semua kehidupan ini telah diatur oleh yang kuasa. Kita hanya cukup berusaha dan jangan lupa berdoa. Kalangan agamawan bukan berarti mengindahkan titah ahli medis, melainkan memberi pola pikir lain bahwa sikap tawakal itu perlu. Mereka hanya mengingatkan agar jangan sampai meniadakan peran Tuhan. Sebab kekebalan sistem imun itu perlu, lebih-lebih sistem iman.

Keresahan yang over bisa berbahaya jika terus-menerus dipelihara. Sebab sikap itu bisa menciptakan fanatisme. Jika sudah fanatisme yang ditonjolkan maka akan melahirkan kesadaran buta. Alih-alih waspada malah melakukan tindakan saling curiga. Dalam serial kartun Spongebob Squarepants saat Patrick Star dan Spongebob pergi ke bulan mereka mengira bahwa di sana tempat yang dihuni oleh berbagai macam alien, ternyata saat pendaratan tiba mereka tidak menemui apa-apa kecuali batuan yang mengapung di angkasa. Singkatnya mereka berdua pun kembali ke bumi. Setelah itu mereka mengira bahwa orang-orang di sekitarnya adalah mahluk yang diduga alien. Hingga terjadilah kesalahpahaman, lalu mereka menangkap satu persatu orang-orang di sekitarnya.

Kisah singkat Spongebob itu mungkin bisa menjadi sudut pandang bagi kita bahwa berpikir jernih lebih baik daripada berprasangka. Keadaan yang belum kondusif seperti saat ini memang sangat mudah membuat siapa saja resah. Apalagi sampai ada ketakutan bahwa penyintas corona bisa menularkan virusnya. Hal ini bisa membuat diskriminasi disatu pihak. Untuk menanggulangi kejadian yang tak diinginkan, maka kita perlu membaca keadaan, kenali gejalanya, lakukan tindakan pertama dan jangan panik apalagi sampai berbuat yang tidak diinginkan.

Saat-saat genting seperti ini mempertemukan sisi ilmiah dan illahiyah sangat diperlukan. Bahwa sains dan agama merupakan dua kutub yang saling menguatkan. Agar masyarakat paham bahwa sebagai pemeluk agama dan kepercayaan meyakini bahwa ada kekuatan adikodrati bernama Tuhan. Termasuk ada upaya dari diri kita sendiri untuk melawan virus tersebut. Kematian bisa saja terjadi, tapi bukan melulu karena virus tapi bisa karena hal apapun. Kita hanya bisa ikhtiyar dan serahkan semuanya pada Tuhan serta ikuti saran ahli medis agar menjaga pola hidup sehat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde