Langsung ke konten utama

Jalan Terjal Meraih Mimpi Kuliah

Woks

Sesuai dengan judulnya yaitu "Jalan Terjal Meraih Mimpi Kuliah" buku ini layak untuk diketengahkan sebagai sebuah bacaan bagi mereka yang menganggap bahwa kuliah adalah hal yang penting, bahkan sampai menjadi impian. Buku ini terbit pada tahun 2016 dari rahim divisi Jurnalistik sebuah perkumpulan organisasi mahasiswa Bidikmisi atau lebih dikenal dengan ForMaSi. Diterbitkan oleh penerbit Akamedia Pustaka Tulungagung - Jawa timur. Penulisnya berjumlah 49 dan menarasikan ceritanya dengan gaya bahasa dan cerita yang menarik.

Sekilas tentang penulis

Lika-liku kehidupan lebih sering kita temukan pada tulisan tersebut. Rerata penulisnya memang berasal dari latar belakang yang sama, yaitu sama-sama dari keluarga ekonomi kelas menengah ke bawah. Akan tetapi semangat untuk kuliah tidak bisa dipandang sebelah mata. Justru dengan hadirnya beasiswa semangat mereka membaja. Seolah-olah jalan kebaikan memang selalu dibukakan oleh Tuhan.

Pendidikan merupakan salah satu pintu memutus mata rantai kemiskinan. Dengan pendidikanlah pintu gerbang cita-cita bisa tercapai. Secara geografis penulis buku ini menarasikan bagaimana harus menaklukan medan yang berat guna menggapai impianya bisa kuliah. Sehingga kata terjal merupakan salah satu kata yang mereka hadapi pertama. Walau demikian dengan keyakinan dan doa orang tua akhirnya mereka berhasil mewujudkannya. Bagi sebagian orang cerita-cerita seperti ini adalah hal yang biasa. Tapi bagi penulisnya narasi cerita itu adalah sejarah yang tak bisa dilupakan.

Sekilas tentang buku

Buku ini berisi tentang kisah-kisah penulis dalam meraih beasiswa Bidikmisi. Catatan itu ditulis dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Isinya tentu bervariasi sesuai dengan kisah yang mereka alami seperti ada yang harus rela bekerja mengumpulkan uang demi kuliah, menempuh jarak jauh dengan angkutan umum bahkan sepeda, ada yang meminjam uang tetangga, mondar-mandir merawat orang tua yang sakit, berpisah dengan orang tua ke luar negeri sampai ditinggal mati. Serta banyak lagi serangkain cerita yang memilukan lainya.

Walau buku tersebut berisi cerita terjal dari para penulisnya, setidaknya para penulis boleh bangga sebab buku tersebut dianggap karya pertama dari mahasiswa. Karya antologi itu juga pernah mampir sebagai hadiah pemateri dari Singapura dan salah satu perwakilan dari Kementrian Agama pusat. Tentu hal itu menjadi kebahagiaan tersendiri. Apalagi isinya salah satu potret keadaan pendidikan negeri ini yang belum sepenuhnya bisa dirasakan oleh semua anak terutama kelas ekonomi bawah.

Seberkas asa untuk menaklukkan beasiswa itu adalah tekad kuat dan prestasi. Mungkin itulah kunci mengapa mereka bisa kuliah seperti yang diidam-idamkan. Kemiskinan memang bukan satu-satunya penghalang buat mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Dari prestasilah akhirnya pemerintah memberikan amanat kepada mereka untuk mendapat beasiswa tersebut. Di sinilah akhir dari segala hal yang terjal. Sekarang kuliah telah mereka rengkuh, kini saatnya dari beasiswa itu mereka memiliki tanggungjawab moral untuk sama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut dalam memutus keterbelakangan, kebodohan serta kemiskinan.

Komentar

  1. Beruntungnya jika kisah bisa dibukukan. Angkatanku kisahnya tidak terdokumentasikan, padahal tulisan sudah lama dikumpulkan. Hanya berakhir hilang.

    Selamat dan sukses. Keren wok.
    Ga ada kritik, cuma pertanyaan. Apakah rerata berarti rata-rata? Mengapa menggunakan rerata?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde