Langsung ke konten utama

Merajut Harapan dalam Keterbatasan

Woks

Buku "Merajut Harapan dalam Keterbatasan" merupakan seri ke dua dari kelanjutan buku "Jalan Terjal Meraih Mimpi Kuliah". Dengan penerbit yang sama buku tersebut lahir kembali satu tahun setelah buku pertama terbit. Berbeda dengan yang pertama buku tersebut terkesan eksklusif, karena penulisnya tidak semua masuk dalam antologi tersebut. Sebab pada saat itu keadaan memang berbeda dari sebelumnya.

Buku tersebut berisi tulisan serangkaian harapan dari para mahasiswa penerima Bidikmisi pasca impian mereka tercapai. Buku tersebut mengupas jalan pikiran penulis yang berharap setelah lulus dari bangku kuliah dapat mendarmabaktikan ilmunya. Mereka yakin bahwa dengan bersungguh-sungguh pasti akan ada jalan. Mereka juga merasa bahwa hal ini merupakan tanggungjawab moral untuk ikut dalam pengembangan mutu dan SDM.

Kontributor buku ke dua ini lebih sedikit dari seri yang pertama. Akan tetapi tidak mengurangi rasa untuk membumbui catatan perjalanan yang pertama. Namun amat disayangkan karena kurangnya apresiasi buku ke dua ini tidak banyak orang yang mengetahui. Padahal impian dari berbagai latar belakang penulis dari mahasiswa ushuluddin, hukum, ekonomi dan pendidikan itu layak untuk dibedah dalam sebuah forum diskusi. Minimal mampu memberi spirit dan motivasi bagi generasi selanjutnya untuk lebih semangat dalam berproses.

Harapan merupakan salah satu sumber energi yang memupuk asa untuk menaklukkan berbagai macam rintangan. Kita tahu selama ini kekurangan dan keterbatasan menjadi momok menakutkan untuk melangkahnya seseorang. Padahal jika ada tekad yang membara semua itikad baik akan tercapai. Seperti beberapa penulis di sini mengatakan bahwa mumpung masih muda kejarlah impian itu sejauh kaki melangkah, sepanjang mata memandang. Kita bahkan termasuk orang-orang pilihan yang ternyata nasib baik menghampiri. Sedangkan diluaran sana masih banyak orang yang tidak lebih baik dari kita. Sehingga keterbatasan tidak dimaknai sebagai penghalang untuk terus berkarya.

Terlepas akan jadi apa selepas lulus nanti. Setidaknya mereka memiliki harapan. Harapan itulah yang akan terus dinyalakan sepanjang hayat. Sebab tujuan tanpa tindakan hanya omong kosong. Cita-cita dalam hidup adalah kekayaan tersendiri. Apalagi yang pernah mengenyam bangku kuliah, setidaknya mereka telah membuka satu jalan menuju impianya. Walaupun harus kita hargai bahwa harapan tidak selamanya seusai dengan keinginan hati. Selama telah berusaha dengan gigih harapan itu anggap saja sudah dekat dengan kita.

Selepas memiliki harapan demi harapan harusnya memang benar untuk mereka narasikan dengan baik dalam buku tersebut. Hal itu merupakan ikhtiyar untuk meninggalkan jejak berupa kisah sederhana yang terus diwariskan untuk generasi selanjutnya. Sekalipun dalam keterbatasan setidaknya kita bersyukur telah menjadi manusia pilihan untuk terus menyuguhkan hal yang baik. Jika kita tahu bahwa orang tua telah merelakan separuh hidupnya untuk kebahagiaan anak-anaknya, maka saat ini dan selanjutnya adalah kita sebagai generasi muda. untuk melanjutkannya. Jangan sampai kecewakan orang-orang yang telah percaya kepada kita. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde