Langsung ke konten utama

Corona dan Tradisi Mengasingkan Diri

               (Sumber gambar canva.com)
Woks

Dampak wabah corona (COVID-19) sekarang dunia menjadi waspada. Kewaspadaan warga dunia terhadap pandemi virus ini naik ke level siaga darurat. Salah satunya dengan kebijakan meliburkan atau menonaktifkan kegiatan yang bersifat massal. Dari corona inilah hampir dibelahan dunia terjadi perubahan secara cepat mulai dari iklim politik, suhu ekonomi dan sosial budaya. Virus ini memang begitu mengemparkan ketimbang virus-virus sebelumnya yang pernah ada seperti ebola, sars, flu burung dan flu babi. Sehingga tidak ayal jika tindakan gerak cepat diambil pemerintah demi melindungi warganya dari semakin bertambahnya korban. Salah satunya dengan aksi cepat tanggap mengisolasi ke rumah sakit khusus yang secara sistem operasinya telah ditetapkan sebagai rujukan pasien yang terkena corona.

Merumahkan kegiatan di sekolah juga salah satu upaya nasional yang ditempuh pemerintah. Termasuk mengingatkan warganya agar melakukan pola hidup bersih, mencuci tangan dengan sabun anti bakteri, menjaga jarak, mengurangi aktivitas berkelompok dan tentunya tinggal di rumah lebih baik dari pada mengunjungi tempat-tempat rekreasi. Dari upaya meeumahkan aktivitas termasuk ibadah itulah kita jadi ingat perayaan Nyepi pada umat Hindu. Akan tetapi jika ditarik secara historis ternyata menyepi atau mengisolasi diri pernah tercatat dalam tradisi kita.

Saat Nabi Ayyub terpapar penyakit kulit yang tak kunjung sembuh masyarakat sekitarnya lalu mengambil tindakan mengasingkan Nabi Ayyub dari komunitas warga. Alasanya tentu agar tidak menularkan virus gatal itu pada warga lainya. Termasuk hukuman bagi pelaku zina ghairu muhsan atau pezina yang belum pernah memiliki ikatan akad secara sah yaitu di dera 100 kali plus diasingkan ke tengah hutan. Tujuan contoh pertama Nabi Ayyub yaitu cara Allah menguji kesabaran kekasih pilihanya, sedangkan tujuan contoh kedua bagi pezina adalah agar mendapat efek jera dan bisa memutus dosa yang berdampak pada 40 warga sekitar.

Berbeda dengan tradisi sufi, istilah untuk mengasingkan diri lebih kaya pada kalangan ini. Salah satunya khalwad yaitu sebuah ritualitas menyepi untuk ibadah taqorrub (mendekat) kepada Allah, selanjutnya adalah tahannuts atau uzlah, yaitu mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia. Termasuk jalan (thariqoh) atau suluk (penempuhan) yang menempa diri untuk bersikap arif terhadap dunia. Salah satunya dengan sikap zuhud yaitu, usaha untuk menjauhi dari keterpautan dunia. I'tikaf atau berdiam diri di masjid juga bisa masuk dalam kategori ini. Semua istilah itu dalam bahasa kultural kita mengenalnya dengan bertapa. Walau demikian tentu akan berbeda sesuai dengan niat dan tujuanya. 

Proses netralisir dari wabah corona dengan berdiam diri di rumah telah banyak mengajari kita salah satunya belajar berpikir lebih jernih dan obyektif. Mengambil sikap berpikir positif dan melihat kekuasaan Tuhan. Termasuk juga belajar bagaimana orang tua harus lebih dekat lagi dengan anak-anaknya. Secara psikologis anak-anak yang jauh dari pendidikan di rumah dan hanya mengandalkan di sekolah maka outputnya tidak akan berjalan dengan baik. Karena alasan emosional antara anak dan orang tua sangat penting dilakukan.

Pembelajaran berharga tentu utamanya pada kalangan umat beragama yang selalu membuat citra bahwa menyembah Tuhan harus mengikuti arus utama yang sesuai dengan standarisasi keumuman. Seharusnya pemahaman beragama khususnya dalam peribadatan harus dipahamkan lagi. Sebab orang hanya paham bahwa ritualitas ibadah hanya terjadi pada agama formalistik, keramaian dan tentu mayoritas. Padahal keberadaan Tuhan sebagai sebuah dzat yang menciptakan bisa ditemui dalam keadaan apapun termasuk dalam keheningan. Bahkan orang Jawa telah mengenal istilah "suwung hamengku ono", atau dalam keheningan kita justru menemukan yang eksistensial. Dari corona ini kita boleh bersedih sekaligus bersyukur bahwa Allah swt telah mengingatkan kepada semua orang akan kemahakuasaanNya. Secanggih dan sepintar apapun hasil cipta manusia tidak akan ada apa-apanya di hadapan sang pencipta sejati. Sekarang kita hanya tinggal mengambil sikap dari corona ini apakah semakin sabar, ikhtiyar, tawakal atau malah sombong, takabur, kufur. Berkaca diri memang lebih baik. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde