Langsung ke konten utama

Kala Hujan Menggoda

Woks

Gemuruh suara hujan mengalir deras. Suaranya cukup membisingkan telinga. Pohon dan rumput cukup dibuatnya basah kuyup. Percis seperti sebuah senandung lagu "pohon dan ranting basah semua". Hujan memang memberhentikan setiap pengendara termasuk mengajak berteduh setiap pejalan. Ia mengira bahwa jika tak mau basah berteduhlah.

Hujan adalah rahmat. Ia sengaja diturunkan Tuhan untuk memberi minum sawah, ladang, hewan, pohon dan rerumputan. Kehadiranya membuat siapa saja gembira. Tapi dikala banjir hujanlah yang pertama dicerca. Memang hujan tak mau diatur, ia akan reda sekehendak Tuhanya. Awan-awan hanya sebagian kecil dari wadah sebelum ia ditumpahkan.

Saat bumi terasa gersang dan panas hujan selalu didamba. Kehadiranya sangat di nantikan oleh penduduk bumi. Haus dan dahaga menyeruak ke hampir semua pelosok. Sehingga orang rela melakukan ritual hanya demi menurunkan hujan. Ritual meminta hujan itu sangat beragam sesuai dengan adat dan tradisi. Mulai dari sesajen, doa mantra, persembahan, kidung tarian hingga shalat dan baca Qur'an.

Hujan turun sebagai berita, duka nestapa, musibah, pelajaran dan hikmah. Di saat kaum Nabi Nuh membangkang hujanlah yang menyapu mereka, air bah tumpah dan mereka pun hilang seketika diseret air murka. Saat Nabi Ayyub terkena penyakit kulit yang parah, Allah swt juga menurunkan hujan rahmatnya. Hingga sembuhlah Nabi Ayyub dari cobaanya itu. Hujan juga pernah menjadi mediator hidayah bagi masyarakat yang mempersembahkan seorang gadis kepada Dewa Hujan. Lalu ritual itu ditentang oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik hingga atas izin Allah swt dapat menurunkan hujan tanpa perlu ada tumbal. Karomah para wali memang sangat dekat dengan hujan.

Tidak hanya itu hujan juga sangat dekat dengan seniman. Dari hujanlah kreativitas terlahir entah lewat kata, sastra, seni lukis atau sebuah tembang. Hujan adalah sebuah kemerdekaan berpikir untuk terus mengalir sesuai dengan fitrahnya. Hujan juga melahirkan beberapa terminologi seperti hujan uang, hujan fitnah, hujan musibah dan lainya. Termasuk juga bagi tradisi petani hujan juga sangat dekat dengan tradisi yang berkembang dimasyarakat. Entah untuk menentukan musim tanam atau tradisi yang berkaitan erat dengan meminta air hujan itu. Seperti Ojung, Manten Kucing, Cowongan, Gebug ende dan Berokan. Dari hujan itulah kearifan lokal berkembang.

Hujan telah banyak mengajari kita banyak hal. Bahwa sesungguhnya alam adalah saudara kandung manusia. Maka jaga dan rawatlah ia. Saat hujan deras jangan langsung mencacinya. Kita hanya perlu bersyukur bahwa Tuhan masih sayang bumi ini. Karena hujan merupakan suatu proses fisika dalam ilmu pengetahuan. Tapi dalam term tasawuf hujan adalah perkawinan antara alam makrokosmos dan mikrokosmos yang melahirkan hewan dan tumbuhan. Masihkah kita berpikir aneh tentang hujan, kecuali semuanya adalah tanda-tanda kebesaranNya. Mari merenung sejenak sebelum kita ditertawakan hujan dengan harmoninya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde