Langsung ke konten utama

Matahari yang Tak Pernah Padam

(Untuk kiai ku Al-maghfurllah KH Hafidz Baehaqi)

Woks

KH Hafidz Baehaqi beliau lahir di Blitar 25 Mei 1968. Beliau lahir dari pasangan bapak Imam Ahmad dan Ibu Marfingatun. Beliau lahir di lingkungan yang lumayan dekat dengan pondok pesantren. Ya pesantrenlah yang sangat membesarkan namanya karena beliau begitu ta’dhim pada guru. Di bawah asuhan para masyayikh Ponpes Mambaul Hikam Udanawu Blitar kiai Hafidz dapat mengembangkan ilmunya. Setelah menikah dengan ibu Umayah, beliau dikaruniai 3 orang putri dan beliau memilih tinggal di blok Kubangsari Desa Cipancuh Kecamatan Haurgeulis Kabupaten Indramayu.

Di Indramayu pengabdianya kepada masyarakat sangatlah besar. Sehingga pantas saja masyarakat menggelari beliau dengan sebutan kiai. Padahal beliau sendiri bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Beliau ngurusi NU subhanallah sampai dalam keadaan sakitpun beliau tetap mengajar ummat. Jabatan beliau di NU pada saat itu adalah Rais Syuriah MWC NU Kec. Haurgeulis, sehingga atas kegigihan beliau PCNU kabupaten Indramayu memanggil beliau untuk berkhidmah bersama ummat di tingkat kabupaten. Kata beliau saya ingin menjadi santrinya mbah Hasyim Asyari. Hingga masa khidmah belum usai, beliau wafat.

Jika dalam soal memberi petuah atau pesan beliau sering mengunakan falsafah atau terminologi melalui ilustrasi yang ringan sehingga dengan orang awam sekalipun dapat mudah dimengerti. Seperti suatu saat ketika beliau sedang berdiri memantau sebuah acara, ada salah seorang muridnya yang juga panitia dalam acara tersebut bingung dan keheranan dan bertanya pada bapak, mengapa acara ini pasti ada kekuranganya padahal acara sudah di persiapkan dengan matang 3 bulan yang lalu? Dengan tersenyum beliau menjawab mas hidup itu seperti rumah, terkadang kondisi rumah tersebut mencerminkan si pemiliknya, dirawat atau tidaknya maka tergantung si pemiliknya, sekalipun itu rumah tingkat atau alias rumah mewah, rumah itu memiliki WC, di mana-mana rumah istana sekalipun pasti ada wc nya sehingga di balik kesempurnaan pasti ada yang kurang eloknya seperti wc itu, nah sekarang pahamkan bahwa hidup itu tidak sesempurna yang orang bayangkan. Sekarang anda pilih saja jadi rumah, jadi wc atau isi wc nya. Muridpun tertawa.

Sering juga beliau memberi semangat motivasi kepada para muridnya jika ingin sukses dan berkembang terutama ilmunya. Beliau memberikan filosofi padi. Ingat anak-anaku bahwa padi yang masih dalam kotak-kotak penyemaian tidak akan jadi padi jika tidak dipindahkan pada petak-petak lahan sawah yang siap untuk ditanam, begitu pula pada diri kita manusia jika kita ingin pandai dan berkembang maka kita harus berpindah seperti halnya padi tadi. Maka ketika padi sudah dipindah dengan jarak yang telah disesuaikan maka tunggu saja akan tiba saatnya panen. 

Sama halnya manusia jika kita berpindah dalam lingkunganya yang berbeda maka kita akan mendapatkan sesuatu di dalamnya. Sebenarnya dalam hidup ini tidak ada yang namanya kesulitan, karena Allah swt yang menjamin bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Lihat saja ombak begitu besarnya dan mampu menenggelamkan siapa saja, akan tetapi bagi para peselancar ombak bagaikan sahabatnya, karena apa?, karena ia berani dan mau belajar. Tidak ada yang mustahil dalam dunia ini. Begitulah pesan bapak.

Sosok beliau adalah pelajaran bagi kami para muridnya. Walaupun beliau adalah kiai yang berasal dari kampung, tapi pandangan beliau terhadap dunia sangatlah luas, namun membumi juga. Bagi kami para muridnya beliau adalah payung teduh di kala panas dan hujan. Beliau itu sangat rendah hati sekali, suatu hari ibu berkata “pak kok panjengan tidak ngajari anak-anak supaya manggil abah", beliau menjawab "aku bukan kiai, bukan pula kelasnya". Bahkan dalam kondisi sakitpun  bapak mendampingi kami dalam hal apapun. Suatu saat ketika ada acara Imtihan atau Haflah Akhirussanah beliau pada saat itu menjabat sebagai ketua Yayasan Nurul Hikmah Haurgeulis, di sanalah di mana saat beliau dalam keadaan kritis, tapi beliau sangat ingin bersilaturrahim menemui para muridnya, namun keluarganya menolak karena alasan kesehatan. Itulah salah satu kegigihan beliau yang ummat selalu di hatinya. Hingga beliau wafat meninggalkan kami semua pada 23 Juni 2013. 

Harapan bapak itu tidak muluk-muluk hanya sederhana saja yaitu supaya keluarga dan masyarakat bisa ngaji. Bapak juga sering mengatakan bahwa lebih baik kamu menangis karena perpisahan sementara dengan anak yang menuntut ilmu agama dari pada kamu akan menangis di hari tua jika melihat anak-anakmu lalai terhadap ajaran agama. Sosok yang selalu kami rindukan itu kini telah tiada. Namun sinar perjuangan terus memancar hingga saat ini. Semoga beliau bersama sang maha cinta Allah swt. Kini perjuangan beliau diteruskan putri-putrinya melalui organisasi IPPNU.

(Sumber: KH. Mahtum Hadi (Sahabat dekat dan murid KH Hafidz Baehaqi) 20/7/17.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde