Langsung ke konten utama

Ayo Mondok 2018
.
Oleh Woko Utoro
Kita tahu salah satu dari ulama penghulu tanah jawa yg telah berhasil melahirkan ulama2 yg telah melahirkan para ulama kyai yg juga sebagai pengasuh dari setiap pondok pesantren. Salah satunya ialah Syaikhona Kholil Bangkalan yg melahirkan ulama ahli hadits yg juga pendiri NU, organisasi terbesar di Indonesia bahkan di dunia, beliau adalah Hadratus Syeikh KH Hasyim Asyari. Mbah Hasyim adalah salah satu murid mbah Kholil yg juga telah banyak melahirkan ulama besar di Indonesia.
.
Tapi harapan saya dalam narasi kecil ini bukan menyuruh pembaca untuk menjadi ulama pondok pesantren semua, melainkan bisa dapat mengambil ibrah dari pendidikan yg ada di dalam pondok itu sendiri. Jangan salah bahwa PonPes tidak hanya melahirkan ulama/kyai saja melainkan segalanya bisa. Mulai dari hal yg positif sampai yg negatif. Tapi perlu di ingat bahwa hal yg negatif tidak terlahir dari tempat yg sejuk dan penuh dengan tatakrama, hal yg negatif justrus terlahir atas dasar kesadaran nafsu pribadi dan kondisi yg saling mendukung. Saya juga pernah mendengar bahwa cacat nalar jika peradaban mulia melahirkan kebiadaban. Seperti di sebagian negara arab, yg mayoritas muslim tapi justru pelopor konflik yg tak berkesudahan. Dari problem itulah kita dapat berkaca dengan cermin yg bening bahwa terkadang hidup itu lucu dan ironi.
.
Kembali ke topik PonPes. Bagi anda yg baru merasakan sensasinya di pondok tentu akan banyak bermacam warna alasan, kesan dan pesan yg akan anda utarakan. Namun secara fungsional pribadi saya berkesan bahwa di pondok itu adalah suatu hal yg sangat klasik dan menarik. Sekali saya memasukinya saya langsung jatuh cinta, serasa diri dalam pelukan yg paling dalam. Salah seorang Gus (putra kyai) berkata bahwa hidup di pondok itu layaknya hidup pada satu bidang yg penuh dengan tikungan, tanjakan, batucadas, koral bahkan sutera, semuanya tergantung bangunan niat kita dan sejauh mana rasa dari setiap rasa yg kita rasakan. Karena jika keduanya berbanding lurus maka percayalah proses tak akan pernah membohongi hasilnya. Pondok juga merupakan ilustrasi kecil dalam diri birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat. Sebab di pondok tidak hanya di ajari ngaji kitab kuning dengan segala sistemnya melainkan di ajari apapun, guna mempersiapkan diri menuju masyarakat yg sesungguhnya. Dan paling utama di pondok adalah etika, moral, budi pekerti, tatasusila, atau akhlak yg luhur. Sebab ilmu yg di dapat harus berbanding lurus dengan akhlaknya. Karena zaman now ini orang tak ubahnya seperti hewan bahkan lebih rendah lagi (QS Al A’raf 7 : 179).
.
Di pondok kita dapat menghemat biaya tapi jangan di niati ngeKOS, walaupun pasti dengan santri lain kita dapat makan bersama2, saling berbagi. Jangan pula berniat menjadi kyai atau orang yg ingin di hormati masyarakat. Lebih baik ngaji saja yg lurus dulu niatnya, insyaAllah jalan akan selalu beriringan dengan kita. Pokoknya di pondok itu penuh magis, karena antara hati sang penimba ilmu harus di sambungkan dengan segitiga cinta ruhani yaitu orang tua, guru/kyai dengan Allah swt yg pemilik samudera ilmu. Yang paling terpenting adalah hasil dari setelah kepulangan kita di pondok. Karena buah dari ilmu adalah kebermanfaatan di masyarakat. Jangan sampai menjadi buah yg tidak bermanfaat. Semoga harapan kita bersama pondok pesantren masih akan terus relevan melahirkan generasi emasnya. Generasi yg nasionalis mencintai negrinya, humanis yg menyayangi masyarakatnya dan agamanis yg mengasihi sesamanya. Ibadah ritual harus selalu di aplikasikan dalam ibadah sosial. 
.
Saya jadi teringat pesan Mbah Abdul Karim Pendiri PonPes Lirboyo yg di sampaikan oleh KH Abdul Aziz Mansyur "santri itu harus bisa menjadi seperti paku, walaupun dipukul terus tapi sudah jelas bermanfaat. Ketika membuat rumah, yang bisa menyatukan antara reng, usuk dan papan lainnya, ya hanya Paku. Kalaupun rumah sudah jadi berdiri tegak, tidak ada yang memuji paku karena memang pakunya tidak terlihat. kalaupun terlihat menonjol paku itu akan dipukul lagi".
Ayoo mondok..
Rasakan sensasinya dapatkan barokahnya. hehe
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde