Langsung ke konten utama

Menyikapi Perbedaan
..
Oleh Woko Utoro

Menjadi berbeda itu menarik. Begitulah sang seniman berkata dengan estetisnya. Menjadi berbeda itu menyakitkan. Begitulah minoritas berkata dengan segala kenyataanya. Menjadi berbeda itu moderat. Begitulah sang pemilik ilmu berkata dengan segala kebijaksanaanya. Berbeda akan menjadikan kesamaan menjadi indah. Artinya sesungguhnya dari perbedaanlah kesamaan itu hadir.
..
Seperti hal nya sekarang sedang terjadi bencana di mana2, apakah semua orang harus di tuntut untuk menyumbang uang atau paket sembako?. Kan tidak. Memang benar persamaan empati menuntut itu namun, perbedaan kebutuhan pun menjalankan sisi yg lain. Artinya tidak semua orang harus menyumbang sesuatu yg sama, apalagi harus dengan di paksa. Seharusnya harus berbeda, adakalanya menyumbang, adakalanya pula berdo'a. Bukan berarti tidak iba melainkan, sebuah sisi kehidupan yg berwarna.
Benar kata Sujiwo Tejo "hidup ini kompleks". Jadi ini dan itu bertindak ini dan itu pasti akan menimbulkan konsekwensi. 
sebenarnya hidup ini cuma berkutat pada kebenaran kedudukan dan kebahagiaan. tiada yg lain. tapi makna dan motif didalamnya itu menjadi sulit untuk di tebak. 
seseorang lebih cenderung menyalahkan kepala tinimbang tubuh yg lain berintrospeksi. Memang begitulah anggota lebih mudah menuntut di banding bekerja bersama, lebih mudah menjatuhkan dari pada membangun. Tapi saya sadar bahwa untuk mengikuti perbedaan agar menjadi sama itu sulit. maka problem utamanya lagi yaitu prosesi penafsiran dan penarikan kesimpulan. Perbedaan akan selalu mengiringi jalan tersebut. 
..
Jika kita tahu seseorang mengantri bensin berkata "disini kita sedang membutuhkanya, di sana rosi malah menghamburkanya". Padahal hal tersebut berbeda konteksnya. Sama hal nya dengan lampu yg kita gunakan, jika lampu lebih baik tidak di nyalakan demi sosial, lalu bagaimana dengan lampu yg memang di butuhkan orang yg sedang sakit misalnya. Nah dusinilah letak sesuatu yg berbeda lagi.
..
Sebenarnya dalam menyikapi peredaan itu hanya di butuhkan beberapa bumbu agar dapat menjadi cita rasa yg khas seperti, saling menghormati, menyejukan ummat, berkepala dingin, saling menghormati dan semuanya di racik dengan ilmu. Hanya dengan chef ilmu lah yg dapat meracik perbedaan. Maka kebanyakan orang bersitegang dengan kebenaranya karena ia tidak memiliki ilmu yg memadai. Sehingga Gus Mus berpesan "teruslah kau mencari dengan proses belajar, agar kau di tinggal kebodohan". Dengan ilmu kau akan bijak sekalipun dalam lumpur perbedaan. Ilmu akan memberikan segalanya.
..
Kita boleh beda pendapat dengan orang lain namun, perbedaan itu bukan menjadi dasar untuk menyerang justru perbedaan itu menjadi i'tibar bagi keberlangsungan hidup bersosial. Shaleh pribadi lebih lagi shaleh sosial. Seharusnya manusia dalam hal berdakwah itu harus rendah hati, rendah se rendah-rendahnya, walaupun ia seorang Profesor sekalipun ia tidak boleh merendahkan pembantunya. Bisa jadi pembantunya lebih tahu, atau ada sisi dimana sang profesor memang tidak mengetahuinya. Kata Prof Quraish Shihab" jadilah kita seperti tanah yg walaupun dirinya di injak2 tapi ia tetap menumbuhan pepohonan (manfaat), jangan jadi api yg sombong, apalagi di tengah perbedaan.
Perbedaan adalah rahmat jika kita bagian dari nikmat. Tapi jika tak di syukuri dan disikapi perbedaan akan menjadi laknat.
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde