Langsung ke konten utama

Ziarah Waliyullah III
..
Oleh Woko Utoro

Ziarah adalah sebuah ritual ibadah yg berdimensi sosial. Di dalamnya terdapat banyak sekali pelajaran dan pernak-pernik dari keunikanya. Jika dulu pekuburan selalu di konotasikan negatif dan menyeramkan, justru kini pekuburan utamanya makam para wali menjadi salah satu objek wisata religi yg sangat di minati. Maka pantas saja tradisi yg di bangun dari karya cipta itu menjadi kebudayaan masyarakat menjadikanya sebuah pasaran yg unik. Di dalamnya terdapat keshalehan2 sosial. Dan tentunya masih banyak keunikan yg lain yg perlu di gali.
..
Ada hal yg menarik dari bukunya pak Muhammad Mufti Mubaroq (Cak Barok) yg berjudul "Kaji Blangkon", beliau mengatakan bahwa di dalam tradisi ziarah yg biasanya di lakukan orang jawa yg sebagai sebuah penghormatan juga ada hal yg bersifat diskriminasi sosial utamanya soal pelaksanaan ibadah haji. Menurutnya untuk melaksanakan ibadah haji hanya orang2 yg berduit saja yg mampu berangkat ke tanah suci sedangkan, orang jawa awwam yg ingin berhaji ke sana merasa sangat berat sekali. Apa lagi harus memikirkan ongkos naik haji yg berjuta2 itu. Maka secara vulgar penulis mengatakan bahwa dengan pelaksanaan ziarah itu orang jawa sudah di katakan sebagai seorang haji (kaji blangkon). Mabrur tidak harus ke tanah suci, katanya. hehe Dengan rute berkeliling sembilan wali. Dari jawabarat-jateng-jatim bahkan sampai pulau bali. Sudah mendapatkan label mabrur....?. Wallahualam...
..
Ada lagi salah satu keunikan dari ritualitas ziarah adalah istilah yg di lontarkan Gus Dur sekitar tahun 2006. Beliau mengatakan SARKUB (Sarjana Kuburan). Istilah itu sebenarnya terlahir atas maksud mengkritisi kehidupan yg absurd ini. Menurutnya hidup ini esensinya yaitu bersedia melayani bukan ingin dilayani. Selanjutnya istilah SarKub itu juga ialah sebuah gugatan terhadap peran kiai dalam transformasi masyarakat. Menurut beliau Kiai harus berperan aktif dalam pengembangan sosial secara teologis. (Canda tawa Gus Dur: hlm. 217).
..
Mungkin inilah yg di sebut ritual khas kaum tradisional. Mereka menganggap bahwa dengan berziarah ke makam para kekasih Allah hidup mereka seperti ada pancaran keberkahan. Menurut sebagian orang bahwa ketika seseorang bertawasul kepada Allah melalui para walinya itu seperti halnya teori partikel Tuhan. Dimana do'a dan tawasul itu seperti gelombang elektromagnetik yg memancar dari bumi ke langit. Disinilah ada aspek transenden dan immanen. Vertikal menuju Tuhan dan horizontal antar sesama manusia walaupun salah satunya telah tiada. Di tambah lagi keberadaan istilah barokah menjadi salah satu tujuan utama para peziarah. Sehingga tak jarang kesalahkaprahan terjadi di dalamnya seperti, mengusap2 makam wali, meminta pada pekuburanya, menaburkan uang recehan, menuliskan nama di nisan dan berharap lebih pada air yg tersedia di sekitar area makam. Padahal semua faktor terkabulnya do'a dan harapan hanya Allah swt semata.
..
Setidaknya dari peninggalan para wali itu kita senantiasa belajar untuk selalu memperbaiki diri dan bermuhasabah. Berlomba dalam menggapai kebajikan. Sehingga menjadi manusia yg bermanfaat bagi manusia yg lain sangat di utamakan dalam mengarungi kehidupan ini. Begitulah pesan baginda Nabi SAW kepada kita. Lalu jika hal itu teramat berat kita lakukan maka belajarlah dengan mencoba selalu mendekat bersama orang2 sholeh. Seperti wirid tombo ati yg berbunyi "wong kang sholeh kumpulono". Bisa juga mengambil pelajaran dari para waliyullah melalui ziarah kubur.
Selamat merenung..
#Sarkub
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde