Langsung ke konten utama
Segera & Segara
..
Oleh Woko Utoro

Saya sering sekali nongkrong di warkop (warung kopi) bukan sekedar mencari wifi gratis apalagi tongkrang-tongkrong tak berguna melainkan saya sharing atau berdiskusi membahas hari esok. Mau menjadi MADESU atau MADERAH. Kata teman saya jika berfikir di selingi aroma kopi serasa inspirasi nikmat dan kental dan selalu mengiringi. Jika saya sendiri sih lebih memilih moderat, ngopi gratis di bayari teman hehe. Asyik kan.
Dalam kitab "Irsyadul Ikhwan, Li bayani Syurbil Qahwah wa Dukhon" karya Syeikh Ihsan bin Dahlan Al Jampesy al Kadiri. Minumlah kopi setiap waktu,
sebab bagi peminumnya ada lima faidah di dalamnya,
yakni membakar semangat, melancarkan cerna, menghilangkan dahak,
membaguskan pernafasan, dan membantu tujuan.
..
Dalam perdiskusian itu kami membahas tentang apa saja mulai dari yg ringan sampai yg berat. Namanya juga berdiskusi warkop maka yg terjadi adalah free wild (bebas tak berarah) berbeda dengan syawir (diskusi di pondok dengan panduan kitab kuning) pasti akan jauh bermanfaat. Selain kita mutholaah juga kita belajar membuka footnote para ulama dan karanganya. Betapa agungnya karya ulama klasik bahkan hingga hari ini belum ada yg menandingi dan akan tetap relevan.
..
Biasanya saya berdiskusi yg ringan seperti, teman saya mengatakan bagaimana cara agar kita bisa menulis?. Dalam sharing itu jika saya sering mengibaratkanya dengan istilah segera dan segara. Segera berarti bergegaslah dan jangan tunggu nanti atau secepatnya. Saya melakukan apa yang bisa dikerjakan hari ini tanpa harus menunda hari esok .
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا
Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi" (Al-Kahfi:23).
Dan segara (baca jawa: segoro) berarti lautan atau samudera lepas. Artinya bahwa sebelum air mengalir dari hulu ke hilir, hilir ke muara, muara ke danau dan danau ke lautan bersegeralah jangan tunggu nanti karena, jika air sudah menjadi lautan apalah daya kita. Sama halnya dengan aforisma "mencegah lebih baik daripada mengobati". Jika bisa sekarang mengapa harus menunggu nanti. Apakah usia menjamin hingga hari esok. Waallahu a'lam, tiada yg tahu.
Sebenarnya saya sendiri belum pandai menulis, saya hanya mencoba mempraktekan "self healing" bagaimana mana dari sebuah tulisan dapat menjadi terapi jiwa. Itu saja tidak lebih.
..
Jika berdiskusi yg berat tentunya tentang masalah ilmu kalam dan teologi. Kadang jika berdiskusi tentang hal semacam itu saya lebih cenderung memilih diam atau bahkan menambahkan kopi dengan secangkir jahe atau susu kental manis. Dari pada saya bingung dan menimbulkan perdebatan saya lebih baik cari aman dengan diam dan berlindung di balik kata "hooammmzzz saya ngantuk banget nihh" wkwkwk.
..
Saya sangat banyak belajar dari teman saya. Karena dari mereka kita dapat mengerti arti kehidupan yg berwarna. Walaupun pepatah arab mengatakan bahwa خَيْرُ جَلِيْسٍ فيِ الزَّمَانِ كِتَاب
"Sebaik-baik teman duduk pada setiap waktu adalah buku". Namun, jika kita di sebut kutu buku tapi kehilangan teman yg selalu mengingatkan, apalah artinya semua itu. Bukankan dunia nyata lebih asyik dari pada dunia maya.
Saya sangat mengakui bahwa teman saya yg merokok dan ngopi lebih berinspirasi di banding saya yg hanya banyak diam ini. Namun sayang gudang dari setiap inspirasi teman saya hanya seperti air yg mengalir dan berujung ke dasar lautan. Mereka tidak berfikir hingga bagaimana air itu di bendung dan dapat menghasilkan energi listrik tenaga air yg ramah lingkungan. Di tambah lagi air adalah mahluk tertua di muka bumi yg darinya di simbolkan dengan sumber kehidupan. Lebih lengkapnya di tambah 3 elemen dari avatar.
Maka dari itu pesan untuk diri saya pribadi dan umum untuk orang lain mari berkarya, berusaha dan bertalenta sejak sekarang juga, jangan tunggu nanti. Tentunya kita memiliki harapan untuk mewujudkan segala cita-cita. Ingat "segeralah sebelum menjadi segara".
Selamat merenung..
#Salam budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde