Langsung ke konten utama

Mengintip PSP 
..
Oleh Woko Utoro

Setelah di launching beberapa waktu yang lalu oleh Pak Rektor, kini PSP (Pusat Studi Pesantren) menancapkan gas nya dengan beberapa mata acara seperti kemarin telah sukses dengan acara workshop studi pesantren modern seperti mustholaah filsafat, nasionalisme, teks-teks keagamaan dan sebagainya. Kini PSP hadir lagi di muka umum dengan agenda bulanan yaitu acara sholawatan bersama fajrul ummah. Hal itu atas prakarsa direkturnya yaitu Bapak Dr H Muntahibbun Nafis, M.Ag dan kolega beliau Bapak Aziz Muslim, M.Hi beliau juga termasuk pengasuh PonPes Mahasiswa Al Bidayah.
..
Dalam kesempatan tersebut sebenarnya tidak hanya sholawatan saja melainkan banyak sekali agenda lainya yg berkaitan dengan dunia pesantren. Memang dunia santri dan pesantren sudah di akui perananya terbukti dengan di tetapkanya 22 Oktober sebagai hari santri namun, tetap saja pagelaran tradisi pesantren harus di lestarikan. Dengan tujuan utama yaitu dapat membentengi kaum muda di zaman yg penuh dengan tantangan ini serta setiap acara yg ada dapat lestari dan tertradisikan. Keep istiqomah karena, istiqomah mengantarkan menuju karomah.
..
Pondok pesantren tidak bisa di pisahkan dengan santri dan budayanya maka, pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia perlu adanya wadah sebagi upaya kaderisasi yg harapanya ialah adanya tongkat estafet keberlangsungan kehidupanya. Minimal tradisi yg sudah tumbuh di pesantren dapat di dengar oleh orang banyak. PSP sendiri sebagai sebuah wadah pesantren di kampus sebenarnya tidak hanya ingin menumbuhkan kecintaan kepada Kanjeng Nabi Muhammad saw dengan sholawatan saja melainkan merawat tradisi pesantren yg lainya. Yang tentunya sebagai sebuah khazanah kebudayaan klasik islam yg menumbuhkan kearifan seperti yasinan, tahlilan, maulidan, manaqiban, syawir, sorogan, ziaroh, talaman (makan bersama pada nampan/leser), maknani kitab, lalaran, ta'dhim kepada guru dan sebagainya. Hal itulah yg ingin terus di dengungkan oleh PSP agar generasi penerus dapat menyaksikan lestarinya bahwa tradisi tersebut dulu pernah mengalami masa jayanya.
..
Penekanan yg lain yg saya amati ialah mentradisikan salaf merawat keshalehan. Artinya bahwa seseorang boleh di pandang rendah namun bukan rendahan. Justru di balik suksesnya aktor utama ada orang yg menyukseskanya yg berada di belakang layar. Intinya jangan suka memandang sebelah mata apalagi menghinakan. Soalnya hal yg demikian itu akan banyak terjadi di zaman ini sebab zaman sekarang ini sudah mulai masuk fase "al fitnah al kubro". Senjata utamanya berpusat dari otak di sambung ke lisan dan di salurkan melalui teknologi. Maka pantas lah orang jawa berpesan "tetep eling lan waspodo". Penekanan yg lainya dari PSP itu sendiri yaitu pada kekuatan rasio dan kekuatan apiritual. Hal tersebut mengacu kepada kebanyakan orang seperti para ulama kiai, profesor dan para cendekiawan. Dan problem terbesar zaman sekarang adalah banyak orang pandai secara rasio namun gersang secara spiritual sehingga yg timbul adalah yg bodoh makin bodoh dan yg pinter membodohi yg bodoh. Kata Gus Mus kita itu jika mau di sebut santri jangan melihat mondok dimanya atau berapa lama anda berkiprah tapi mengukurlah sudah sejauhmana anda bermanfaat bagi orang lain. Karena sesungguhnya keshalehan spiritual harus di output kan dengan keshalehan sosial. Karena zaman sekarang khualitas ilmu pengetahuan makin baik tapi kearifan makin terkikis. Gelar akademik makin mentereng namun penggunaan rasio makin rendah. Begitulah dunia kini. Sepertinya sudah seperti "wolak walike zaman". Dimana besarnya gunung bisa di telan oleh tingginya ombak samudera. Dan seharusnya gunung tetaplah menjadi pasak bumi yg menguatkan dan laut tetap menjadi air yg menenangkan. Sampai kapanpun katak tidak akan bisa menjadi lembu.
Setelah kita tahu dari hal2 di atas semoga PSP menjadi cerminan jati diri untuk menemukan jatidiri yg sesungguhnya dan bukan sebuah wacana.
Semoga PSP kedepan makin rendah hati dan mencerahkan. Bisa melahirkan santri yg beriman teguh dan santun dalam tindakanya.
#Sholualannabi Muhammad saw
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde