Langsung ke konten utama
Basa Ngapak II
..
Oleh Woko Utoro

Menggali peradaban masa lalu untuk peradaban masa depan adalah bagian dari sejarah, begitulah pesan KH Agus Sunyoto dalam paparan bukunya Atlas Walisongo. Kita tidak di tuntut hidup layaknya seperti masa lalu, melainkan pedoman dan nilai-nilai masa lalu bisa di implementasikan kembali di masa sekarang, minimal semangatnya. Termasuk melestarikan bahasa ngapak yg sekarang mulai di tinggalkan oleh para penerusnya. Layaknya Islam di tengah arus Islam Transnasional.
..
Kemarin kita telah sedikit mengetahui sejarah bahasa ngapak sekarang tulisan ini akan membahas sedikit tentang teori terbentukanya bahasa ngapak itu.
Hampir mirip dengan sejarah terbentuknya teori ini pun pastinya ada keterkaitanya satu sama lain walaupun perlu peninjauan yg lebih dalam. Karena memang sejarang bersifat debatebel.
..
Sejak prakolonialisme sampai kolonialisme itu sendiri masuk ke indonesia pada saat itu orang2 di Nusantara sudah memiliki peradaban yg maju, utamanya di dunia perdagangan. Salah satu tempat pertukaran uang dan barang yg paling terkenal pada saat itu yaitu, pelabuhan sunda kelapa yg ada di Batavia (sekarang jakarta) sampai jatuh ke tangan pasukan Hindia Belanda.
Ketika para penjajah datang dan pada saat itu belum ada perlawanan dari Fatahillah orang2 yg ada di daerah itu merasa tertekan dan tak berdaya, apa lagi para tentara belanda itu memberlakukan kerja paksa (Rodi) dan memberlakukan berbahasa belanda. Di tengah tekanan yg bertubi-tubi itu rakyat betawi dan sekitarnya merasa risau dan akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkan daerahnya. Mereka pergi melalui jalur laut dan menggunakan perahu2 seadanya.
..
Pelayaran mereka dalam tekanan itu membawa mereka singgah di tempat2 tertentu utamanya daerah yg di lalui pantai utara yaitu di antaranya brebes, cirebon, indramayu, pekalongan, tegal, cilacap dan daerah lainya yg dekat pantai. Ketika mereka bermigrasi itu mereka masih mengalami tekanan (shock culture) sehingga ketika mereka berbaur dengan warga sekitar, mereka menggunakan bahasa sebisanya dan seadanya hingga terjadilah interaksi dengan bahasa ngapak tersebut. Sehingga bahasa ngapak yaitu tidak mengenal istilah trikotomi bahasa (ngoko/madya/inggil). Mereka hanya berbicara seadanya. Walau demikian mereka tetap berprinsip menghargai dan menghormati adalah yg utama.
..
Dari info tersebut sepertinya terkesan tidak sinkron dengan sejarah awalnya yg di tulis kemarin salah satu faktornya yaitu info ini berasal dari tradisi oral (dari mulut ke mulut) sehingga keabsahanya perlu di verifikasi. Dalam riwayat lain bahasa ngapak sudah di gunakan berabad-abad lamanya, hal itu dapat di lihat di dalam babad banyumas atau dalam legenda Kamandaka, bisa juga di lihat di situs gua Jatijajar Kebumen Jawa tengah.
..
Tentunya kita dapat belajar bahwa bahasa ngapa ada bahasa murni tanpa adanya unsur apapun yg membentunya. Berbeda dengan bahasa jawa wetanan yg menurut sejarah terdapat pengkondisian lingkungan dan sedikit bersifat politis pada saat itu. Masyarakat identik dengan kebodohan dan awwam sehingga bahasa yg di gunakan adalah jawa ngoko (tingkat bawah, agak kasar) berbeda dengan para abdi dalem, atau para priyayi yg notabene raja2 jawa memiliki sifat priyagung (terhormat dan halus) sehingga bahasa yg di gunakan adalah kromo (tingkat tinggi dan halus).
..
Dalam kondisi yg demikian itu Ahmad Tohari (Sastrawan Banyumas/penulis Ronggeng Dukuh Paruk), beliau adalah salah satu orang yg getol menyuarakan kepada khalayak ramai untuk terus melestarikan bahasa ngapak. Ia sangat berharap bahasa yg memiliki sejarah dan umur yg tua ini tetap lestari mungkin, sampai seribu tahun mendatang. Semoga para penerusnya tetap cinta kebudayaanya dan mau menghargai para leluhurnya.
Lalu kita yg merasa memakai bahasa ngapak apa yg sudah kita upayakan??. Selamat merenung.
Salam bisa dewek...
*cerita di atas di sarikan dari Bapak Fauzi Rais bin Kusno Paworo Al-Magalani
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde