Langsung ke konten utama

Negeri BBT 20tahun Silam I
..
Oleh Woko Utoro

20 tahun silam kau sudah menjadi tempat yang nyaman.
Bercengkrama dalam asyiknya. permainan.
Bersama melodi alam dan rerumputan. Yang hijau ranau di tiap gersang dan hujan.
20 tahun silam aku masih bisa merasakan manisnya klengkam (permen bulat ekstra besar, jika di emut bisa tahan berjam-jam dan harganyapun murah). Kini kau telah pergi entah kemana.
20 tahun silam aku masih menyaksikan hiruk pikuknya tradisi ngobrog di kala siang bulan ramadhan. Yg selalu menemani hariku menjelang hari raya tiba.
20 tahun silam aku masih merasakan sensasinya mandi di kolam balai desa dengan teman2. Walau kadang sering di kejar2 petugas balai desa.
20 tahun silam lidahku masih waras mencicipi gaplek, ganyong, gemblong, gethuk, geplak, gadung, awug, dan legendar. Hari ini seperti tinggal nama.
20 tahun silam aku masih bisa merasakan sensasinya main2 di hutan. Kini hutanya menyedihkan.
20 tahun silam aku masih bisa merasakan asyiknya main sarungan, engklek2an, batu lima, gewar, ucing sumputan, panggalan, balap sepeda ke garang awi, jebrag gunung, main karet, dan banyak lagi mainan lain yg kini ada namun tiada.
20 tahun silam aku merasa bangga ketika masih sendunya berada di mushola untuk adzan, ngaji bareng, ngendong, tidur rame2, pujian, makan bareng, bahkan layaknya jd penghuni. Tapi kini mushola kosong tak bertepi.
20 tahun silam pujian dengan bahasa daerah masih ku dengar merdu di tiap mushola. Tapi kini anda bisa tebak sendiri.
20 tahun silam mushola menjadi tempat yg hangat bagi para jamaah. Tapi kini mushola semakin banyak juga semakin sepi pula.
20 tahun silam aku masih sangat hafal dengan papahare (makan bareng tetangga), main nyorog (bermain ke negeri tetangga), ulin (bermain atau sekedar ngobrol ke rumah tetangga). Tapi semuanya sirna dengan permusuhan dan indiviualis.
20 tahun silam para ibu benar2 menjadi ibu sungguhan. Tap kini sang ibu berubah menjadi ayah di luar negeri. Ayah menjadi ibu di tiap dapurnya.
20 tahun silam doa ibu bapak menjadi sebuah perlindungan.Tapi kini hanya seperti kaset kosong pada radio butut.
20 tahun silam aku tidak pernah mendengar istilah HD (Ha**l Du**an) sesanter sekarang.
20 tahun silam udara zaman masih segar ku hirup tiap pagi, dengan kicau burung di depan rumah menemani. Tapi kini semua sepi.
20 tahun silam aku masih menyaksikan riang gembiranya ayah dan anaknya, ibu dan anaknya di tepian sawah. Bermain bola, mancing di kalenan (kali kecil). Tapi kini semua itu tergantikan oleh teknologi.
20 tahun silam aku masih menyaksikan hangatnya guyub rukun ketika tetangga sakit atau meninggal. Kini sedikit demi sedikit jadi acuh.
20 tahun silam aku masih melihat sang guru di abdi murid2nya, dengan ikhlas dengan bijak. Tapi kini semuanya seperti tiada bedanya.
20 tahun silam aku masih bisa mengikuti ramainya lomba agustusan, babaritan, mapag sri, metik, dan sedekah bumi. Tapi kini semua sibuk sendiri.
20 tahun silam aku masih mendengar suara ibu2 dan bapak2 majelisan dan ngaji di berbagai mushola. Tapi kini untuk melangkah saja sudah tak bisa.
20 tahun silam tempat nongkrong, ranggon, jondol, prapatan sepi di kala masuk waktu shalat. Tapi kini himbauan Tuhan itu hanya sebagai peluit wasit sepakbola.
20 tahun silam begitulah semaraknya masih ku rasakan selalu.
20 tahun silam begitulah suasananya masih amat ku rindukan.
20 tahun silam begitulah rasanya masih amat membekas di sanubariku.
Tapi sayang semua itu sudah pergi.
Tapi sayang semua itu hanya jadi "itukan doloe".
Sangat di sayangkan memang..
Lalu aku bisa berbuat apa?
20 tahun silam tinggal menyisakan kenangan.
20 tahun silam hanya menyisakan serpihan.
20 tahun silam semuanya menjadi hikayat dedaunan.
20 tahun silam menjadi pelajaran.
20 tahun silam menjadi senyum hangatnya sebuah perjumpaan.
..
Tapi sayang..
20 tahun kedepan aku tak menjumpai itu semua...
Selamat merenung
#Salam budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde