Langsung ke konten utama

Fatamorgana Kehidupan
..
Oleh Woko Utoro

Kita pernah mendengar coletahan "pokok anak ku sesok kudu dadi tentara, di jamin uripe mulya, pastine gajine gede". Coletahan tersebut merupakan bentuk pengharapan orang tua terhadap anaknya kelak. Bagi saya ungkapan demikian bernilai optimistik tinggi namun ada hal yg membuatnya lemah yaitu kita sering menghiraukan proses dan hukum kausalitas. Terkadang do'a tidak berbanding lurus dengan usaha yg nyata sehingga yg terjadi adalah fantasi2 imajinasi. Kita di buai dengan mungkin dan tidak mungkin, optimis dan pesimis kun dan fayakun dan sebagainya. Disinilah relativitas bermain. Hingga apa yg di sebut angan2 belum bisa mendefinisikan kebahagiaan sebelum kenyataan.
..
Urip kui cuma sawang sinawang, begitulah pepatah jawa mengatakan. Yang artinya ialah, hidup itu hanya apa kata orang sehingga kita sangat mudah kebujuk. Kata orang A maka kita A, kata orang B dan kita ikut B. Kita seperti terjajah dlm hal kemandirian (harga diri) pendirian. Semua yg di katakan orang tentunya belum bisa bernilai valid sebelum kita mengkrosceknya. "rumput tetangga sepertinya lebih hijau" begitulah pepatahnya. Kata orang jika kita sampai mampu kerja di perhotelan atau kapal pesiar hidup kita akan terjamin, tentunya dengan gaji yg mentereng, juta jutaan. Padahal demikian itu belum tentu. Sesuatu yg bersifat prakiraan bisa ia bisa tidak. Kadang para pejabat tinggipun masih kekurangan. Padahal mereka kurang di tengah kelebihan. Ironi sosial.
..
Seorang bapak yg merindukan anaknya merantau, yg sekian lama tak pulang, tiba2 pulang dengan membawa segudang harapan, sehingga menjadikanya bahagia. Seorang ibu rela melakukan apapun demi untuk membiayai pendidikan anaknya, semuanya ia rela di korbankan demi anaknya. Dan tentunya pengorbanan itu harus di bayar mahal. Jangan sampai ada istilah "nandur pari tukule suket teki" artinya, pengorbanan orang tua hny di bayar dengan kesia-siaan.
Sesungguhnya kebahagiaan sejati adalah sesuatu hal yg dapat orang lain bahagia pula. Kebahagiaan bukan di tinjau dari seberapa banyaknya harta, melainkan seberapa besar kebermanfaatan. Inilah yg dinamakan dinamika kehidupan, yg penting trus berusaha pasti Tuhan telah menyiapkan jalanNya.
..
Hidup itu kompleks. Hidup itu serba salah, terkadang orang tua pusing setengah mati memikirkan anaknya namun, disisi yg lain anak merasa biasa saja, padahal di balik tawa ada duka yg termanipulasi dengan senyuman. Hidup juga terkadang seperti mendramatisir. Orang tua akan terasa sedih ketika melepas kepergian orang tersayang, disisi yg lain hal itu merupakan sebuah keharusan sejarah. Walaupun prinsip seorang ibu hanya sederhana yg penting anak jujur, tidak lupa shalat dan rajin belajar, itu saja. Pasti ibu akan senang tanpa harus membalas jasanya. Disinilah arti kedewasaan seorang anak. Kata ibu nanti kamu akan merasakan rasanya jd orang tua nak suatu hari nanti. Jika kamu mengerti pengorbanan orang tua maka, kamu akan berbakti tanpa orang tua dan guru memintanya.
..
Dari banyak warna yg lain manusia memiliki kecenderungan untuk saling memiliki lebih. Padahal agama memerintahkan bagaimana arti dari rasa puas. "makanlah yg terdekat diantara kamu, berhentilah makan sebelum kenyang" dan sebagainya. M Ghazali Abdurrahim Arifulahddin mengatakan bahwa "hakikatnya manusia itu dlm keadaan tertidur, mereka akan terbangun jika ajal akan menjemput". Seperti halnya sabda Nabi Saw yg berbunyi "manusia itu selamanya tidak akan pernah merasa kenyang, kecuali dengan tanah (artinya mati dan di kubur)". Mungkin inilah yg di sebut fatamorgana, seolah ada air (kebahagiaan) di tengah jalan/gurun gersang padahal semua itu tidak lebih dari sebuah tipuan mata. Maka yg di lihat mata belum tentu baik di mata telinga. Begitu pula apa yg di dengar telinga belum tentu baik di mata si perasa (kulit dan lidah). Lalu adakah hal yg baik itu?. Yg terbaik adalah hal yg bersifat introspeksi, mengendalikan nafsu, rasa puas dan mengerti tentang arti menghargai dan bersyukur pada Illahi rabbi.
...dan jika kalian bersyukur Allah ridha kepada kalian” (QS. Az-Zumar: 7).
..
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde