Langsung ke konten utama

SEDANG APA?
.
Oleh Woko Utoro

"Kamu dimana, dengan siapa
Semalam berbuat apa
Kamu dimana, dengan siapa
Disini aku menunggumu dan bertanya"?. 
Anda mungkin tahu lyrik lagu di atas, yg tentunya lagu tersebut sempat populer di belantika musik Indonesia, ya benar sekali. Lagu berjudul Yolanda yg di nyanyikan Kangen band itu mengandung sebuah intisari akhir berupa pertanyaan, sedang apa dan dimana. Intinya kalimat tanya. Tak ubahnya dengan lagu yg hampir serupa dengannya yg lain, atau layaknya akun facebook yg selalu bertanya "apa yg anda fikirkan"?, kirim status baru dan sebagainya.
.
Berfikir itu menarik. Berfikir itu adalah upaya sesorang untuk menghasilkan solusi atau jawaban. Sehingga filsafat itu sendiri adalah seni berfikir sampai ke akar atau pangkal sesuatu dengan tujuan untuk menemukan kebenaran. Mungkin seperti itulah pentingnya fikiran. Logika, rasio, otak dan perangkat berfikir yg lain rawatlah dengan baik, supaya tidak menemui namanya cacat nalar atau sesat fikir. Karena logika sesekali dapat menjadi pisau analisis untuk membedah sesuatu masalah. Tapi tidak semua harus masuk mesin bernama logika. Ada hal2 yg tidak bisa di logika. Dalam hal ini bentuk sebuah pemikiran ibarat dua sisi mata uang, adanya dalil naqli harus pula di sandingkan dalil aqli, artinya semuanya bisa fleksibel, tidak terkesan di paksakan ala kaum tekstualis yg kaku.
.
Sekarang saya tidak membahas itu semua, sekarang saya hanya ingin menjawab jika saya di tanya sedang apa anda sekarang? Maka pertanyaan itu akan saya jawab dengan diplomatis. Anggap saja hari ini saya sebagai filsuf Yunani klasik yg baru bangun dari tidur panjangnya hehe. Saya sedang...
.
Konsolidasi pemikiran. Hampir tiap malam saya dan kawan2 merawat akal sehat dengan berdiskusi. Biasanya di warkoplah tempat kami membahas apapun, termasuk NGOPI (Ngobrol Perkara Iman). Para pecinta kopi kadang2 sering mendapatkan angin segar berupa pemikiran yg inovatif dan memang itu tujuanya. Saya sendiri ingin mengambil ibrah dari Syeikh Ihsan bin Muhammad Dahlan al Jampesy al Kadiri, dimana beliau ashabul qohwa yg produktif menghasilkan karya. Kamipun menghindari politik kecurangan. Sedikit demi sedikit dari konsolidasi itu menghasilkan rumus "mengedepankan kreatif di banding politis".
.
Rekonstruksi kehidupan. Kadang hidup saya terasa gersang spiritual. Saya merasa berada hidup di kemarau spiritual yg panas. Hidup seperti jauh dari kesejukan maka, hidup saya ini harus di bangun kembali menuju arah yg lebih baik, layaknya nama anak dari teman saya "atina husnal maab" yg artinya mungkin sama dengan "sangkan paraning dumadi" atau sesuatu hal yg selalu menuju kebaikan. Hidup saya ini seperti sendiri, seperti sedang terstigma individualis padahal semuanya berpangkal dari rasa batin yg negatif. Saya ingin sekali mencari "koncoisme" yg dapat mengingatkan saya pada kesadaran diri ala orang jawa yg dimana hidup di penuhi dengan eling lan waspodo.
..
Transisi kehidupan. Dari semua itulah pangkal dari setiap masalah ingin saya lalui seperi halnya sabda nabi bahwa manusia yg beruntung ialah mereka yg hidupnya selalu lebih baik dari hari kemarin. Masa transisi itulah yg saya harapkan, dari kebodohan menuju pengetahuan. Dari kekanakan menuju pendewasaan dan yg terpenting adalah hidup dengan bijaksana. "Minna dzulumati illa nuur". Jika hari ini bisa menjadi padi yg berisi dan selalu rendah hati, mengapa harus menjadi benalu yg merusak dahan pepohonan. Semoga hal itu merupakan bagian dari transisi kehidupan saya dan semuanya. Menuju fastabiqul khoirot yg mengedepankan humanism dan kearifan.
..
Apa yg saya paparkan di atas tidak lebihnya seperti sebuah imajinasi. Yg kadang saya sendiri serius dan tertawa sendiri. Jika imajinasi terwadahi maka akan menghasilkan pelangi namun, sebaliknya jika imajinasi itu tak di ikat saya khawatir akan liar. Jawaban di atas sudah sama seperti seorang artis jeruji yg beken kembali di layar kaca, vickynisasi. Tapi tak apalah, sesekali nulis yg tidak begitu serius, biar tidak spanneng. Dalam sebuah iklan tertulis "karena hidup banyak rasa, tiiiiiiit....ceriakan harimu"
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde