Langsung ke konten utama

Menggali Nilai-nilai Sufistik dari Mbah Sadiman
..
Oleh WOko Utoro

Alam adalah tempat kita berpijak di bumi darinya sejuta manfaat yg kita peroleh. Alam adalah perantara Tuhan di muka bumi yg akan memberikan kebutuhan bagi mahluk di dalamnya. Namun jika alam sudah tak bersahabat lagi dengan manusia tiba saatnya "fanta dirruss sa'ah". "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [QS. Ar-Ruum/30: 41]. Dari ayat tersebutlah manusia harus lebih banyak berintrospeksi diri karena alam adalah amanah khalifatul fil ardy. 
..
Jika kaitanya dengan alam saya jadi ingat sosok mbah Sadiman. Beliau adalah seorang kakek yg berasal dari dusun Geneng, Bulukerto Kabupaten Wonogiri. Apa yg menjadi istimewa dari beliau sehingga saya harus menuliskannya disini. Beliau adalah sosok yg bersahaja yg sudah 20 tahun mendedikasikan hidupnya untuk menghijaukan alam di kampungnya utamanya di bukit Nggendol dan Ampyangan, kurang lebih sejak tahun 1996. Jika di total smuanya bisa berhektar2 dan pastinya ribuan pohon dan mata air yg sudah mengalir deras ke rumah2 warga.
..
Ternyata dari sosok beliau saya belajar akan nilai2 sufistik yg selama ini saya pelajari di kelas. 
Mbah Sadiman adalah sosok yg telah mengajarkan kepada kita tentang ekosufisme dimana faham ini ialah sama dengan hablumminal alam. Disinilah perlunya guruloka (kesadaran) dari masyarakat betapa pentingnya mencintai lingkungnya. Supaya alam ini tidak menimbulkan bencana. Sehingga alam dan manusia saling berharmonisasi. Bayangkan saja saking cintanya dengan alam setiap menanam pohon beliau selalu membacakan al-fatihah supaya menjadi menghasilkan pohon yang barokah.
..
Beliau termasuk contoh dari sikap altruism yaitu sebuah sikap lebih mementingkan orang lain dari pada diri sendiri. Padahal beliau adalah sosok dengan pendidikan yg tidak tamat namun, beliau termasuk orang sederhana, berfikir sederhana namun berkarya besar. Kata beliau "orang miskin tapi bisa menghidupi orang kaya.
..
Menghijaukan alam tentu membutuhkan waktu yg sangat lama. Hingga beliau dengan sekuat tenaga ikhlas mengabdi demi kebermanfaatan hidup. Ketika beliau berproses dalam menanaman tentunya banyak sekali menemui halangan dan rintangan. Kadang di katain EDAN lah atau apapun itu cemoohanya. Karena mbah Sadiman menukar pohon produktif dengan pohon beringin yg menurut orang2 hal itu tidak masuk akal. "Kulo berbudidoyo, korban tenogo, korban bondo, abdi negoro, tanpo roso malah jik ono seng gudo." Namun mbah Sadiman ikhlas dan sabar. "Anjing menggonggong kafilah berlalu" enjoy saja selagi kita berada di jalur yg benar kita buktikan dengan karya pasti Allah akan memberikan jalanNya.
..
Beliau adalah sosok yg sederhana, hal ini merupakan praktek zuhud dalam kesufian. Beliau ketika di berikan banyak penghargaan sebagai pahlawan lingkungan hidup, beliau cenderung biasa saja karena penghargaan tertinggi hanya ada pada gusti Allah. Karena beliau bekerja sepenuh hati dan tidak mengemis kepada siapapun maka, pantaslah banyak orang yg iba dengan sosok beliau.
Sebagai manusia biasa beliau juga sering bersedih tapi hal itu hilang semua jika langsung ingat kepada gusti Allah.
Selain menghijaukan alam beliau juga membuat 1025 anak tangga yg gunanya untuk mempermudah warga dalam transportasi utamanya jalan pintas menuju perbukitan. Disisi lain anak2 sanfat senang bermain ke atas perbukitan yg beliau sendiri menanaminya dengan bunga2 indah.
Subhanallah, semoga dunia ini tidak kehabisan sosok seperti beliau. Orang yg sepertinya bodoh namun berfikir cerdas lagi ikhlas.
..
Lalu apa yg mbah Sadiman cari? Ternyata beliau tidak mencari apa2, selain keridhoan gusti Allah. Bukan pujian bukan materi duniawi yg di cari beliau melainkan, menjalankan ritus sederhana melihat alam berseri memberikan manfaat investasi masa depan bagi anak cucu nanti.
Kaidahnya ialah:
خير الناس أنفعهم للناس 
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain"
..
#Salam_Lestari
#Salam_Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde