Langsung ke konten utama

Hikmah dari Seekor Itik
..
Oleh Woko utoro

Di markas tempat saya tinggal ada seekor itik, namun lebih tepatnya ialah seekor mentok (bs jawa timur), entog (bs di rumah saya). Mentok sendiri merupakan jenis hewan unggas, ia bertubuh seperti itik namun seperti angsa/bebek kecil, tidak berleher panjang. Saya lebih suka menyebutnya itik saja, agar semua orang familiar mendengarnya.
..
Ada apakah gerangan sehingga saya menulis tentang si itik ini. Apakah ada hubunganya dengan goyang itik atau memang sudah ke habisan tema. Tidak juga. 
Hal yg membuat saya tergugah untuk menuliskanya yaitu karena pergerakanya, gerak-geriknya dan seperti sebuah pertanda, tanda tanya ada apa?
Pertama, kemunculanya datang secara tiba-tiba. Hal itu mengingatkan saya ketika zaman saya kecil dulu sekitar usia 2 tahunan. Di desa saya tinggal dulu berkembang cerita mengenai kedatangan seekor entog besar dengan terbang tinggi dan menghilang di kegelapan. Hal itu menjadi sebuah pertanda datangnya hujan lebat dengan petir menyambar plus angin yg bertiup kencang. Jika saya terka kembali sepertinya kejadian alamnya saya ingat dan memang ada tapi soal kemunculan entog itu, saya rasa masih bersifat cerita oral.
..
Kedua, pergerakanya sangat pelan dan perlahan namun ketika akan di tanggkap si itik tersebut lari dengan gesitnya. Hal ini semacam peribahasa jinak-jinak merpati yang artinya kelihatannya ramah dan mudah didapat, tetapi sebenarnya tidak (tentang wanita). Mungkin wanita yg di maksud adalah wanita yg terhormat, bukan wanita tukang sihir. Yg sekali tiup langsung sanggup (tanpa di pikir dulu).
..
Ketiga, ia hanya sendiri. Tidur menyendiri di bawah rimbunya pohon pisan. Berpeluk bersama dan di antara belukar. Tiada sepatah kata pun ia berucap. Ia penuh misteri dan berdiam diri, tenang namun menghanyutkan. Hal semacam ini seperti ajaran jawa yaitu suwung. Suwung sendiri berarti sepi-menyepi atau dalam islam bertagannus bin ni'mah. Menariknya untuk kita bahwa dari ajaran suwun iti sebenarnya mengandung makna luhur yg tersirat di dalamnya. Ada orang yg ketika di keramaian ia merasa kesepian yg ada hanya ia dan tuhan, inilah yg di sebut sholawat atau topo ngerame. Sebuah tindakan yg langka di zaman sekarang. Tindakan ini tentunya membuat kita eling lan waspodo akan sebuah keniscayaan, utamanya berfikir dulu sebelum berucap dan bertindak.
.
Keempat, ia berwarna putih bersih, tiada hitam dalam tubuhnya. Ia selalu rawat dengan paruhnya ke setiap helai bulunya. Hal ini menjadi cerminan manusia agar mengutamakan esensi tinimbang kulit. Banyak orang berbaju putih tapi hatinya masih hitam dan busuk. Tiada hari tanpa bergunjing dan memunafiq kan diri. Mentahbiskan kebisuan zaman. Seharusnya manivestasi putih bisa menjadikanya tersadar bahwa kita teramat kecil sebagai mahluk. Jika kita merasa besar di depan semua orang berarti hal itu sama dengan melawan selendang kekuasaanNya. Putih bukan sebuah simbol belaka, melainkan prosesi takholli yg harus di lewati setiap manusia. 
.
Kelima, sang itik kebingungan. Ia berjalan kesana-kemari, tanpa upaya mencari makan, diam lagi, bangkit lagi, kadang pula ia terbang untuk bertengger di atas tembok atau ranting kering di bawah tanah. Ia seperti tak tau arah dan tujuan. Dalam hal ini sama seperti tujuan hidup dalam perspektif orang jawa yaitu yg termaktub dalam Sulul Linglung, konon suluk ini tercipta atas wedjangan Nabiyullah Khidir AS ketika Sunan Kalijaga kebingungan di Mekah. Saya cuplik sedikit kutipanya: " Yen tanana sira iku,
ingsun tanana ngarani,
mung sira ngarani ing wang,
dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,
aranira aran mami". Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya Dzatku. Dan itulah yg di sebut orang jawa sebagai Sangkan Paraning Dumadi. Kemana arah tujuan hidup yg sebenarnya, selain menuju yg sejati. Sungguh makna yg sangat luhur dan dalam jika kita resapi. Dan inilah pepeling sejati.
.
Semoga bermanfaat..
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde