Langsung ke konten utama
Untuk Ibu
..
Oleh Woko Utoro

Berkilo-kilo meter jalanmu kau susuri. Tanpa beban tanpa lelah. Hujan, panas dan penatnya kehidupan kau lewati dengan tabah, semuanya tanpa mengeluh. Kau gendong anakmu, kau sandarkan ia pada sepeda kecilmu, di atas keranjang besi persis di depan sepedamu. Kau kayuh terus walau berat dan memang kadang memberatkan. Tak jarang pula sang anak tertidur lelap di atas kerinjang itu, hingga membuatnya khawatir ia terjatuh. Kini fokusnya terbagi antara jalanan dan keselamatan anaknya.
..
Hampir tiap hari ia melewati lorong2 sempit itu, ia lewati dengan percaya diri. Anaknya menangis ia tak peduli kecuali langsung ia beri asi.
Perjalanan itu ia tuju ke setiap hamparan sawah di hutan. Demi merawat padi berisi untuk kehidupan. Ia adalah seorang petani yang rajin.
..
Urusan rumah telah beres semua. tak jarang pula urusan dapur membuatnya nelangsa. kadang air matanya membasahi pipi. Ia rela meminjam uang pada tetangganya demi anaknya, agar ia tak merasakan dahaga dan rasa lapar. Rasa dari rasa garam sering sekali ia rasakan ketimbang opor ayam yg enak cuma bertemu satu tahun sekali pas lebaran. Kau benar benar apa adanya dan ikhlas.
..
Tiap anaknya menangis peluk hangatmu pasti menenangkanya. Bahkan ia mata sangat khawatir ketika ia terjatuh atau di tangisi oleh orang lain. Tiap doa doanya ia sampaikan pada sang Tuhan di malam hari. Tanpa terasa ia harus terganggu oleh jerit tangis anaknya yg terbangun, karena ngompol.
..
Engkau memang wanita yg mulia. Pantas saja Tuhan menghadirkanmu dengan sosok kelembutan dan kasih sayang yg tak ada bandinganya. Bahkan Tuhan telah memuliakanya dengan perintah menghormati keridhoanya. Kau adalah salah satu jenis surga yg Allah hadirkan kemuka bumi ini. Untuk menjadi ibu bagi semesta, menjadi pelindung bagi anak2nya.
..
Sehat terus ibu ku
Plosokandang, 22 Des 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde