Langsung ke konten utama
Basa Ngapak V
..
Oleh Woko Utoro

Masih tentang bahasa ngapak. Tentunya bahasa ini tak akan ada habisnya jika di bahas, khususnya di daerah saya sendiri. Saya tinggal di blok BBT. Blok, jika di artikan sama halnya dengan dusun. BBT sendiri adalah akronim dari Babakan Betawi. BBT itu sendiri memiliki sejarahnya sendiri, yg secara singkat dulu yg pertama kali babad daerah ini adalah orang Betawi asli. Hingga jadilah nama BBT. Untuk ketua yg mengkepalai tingkatan Rt dan Rt menggunakan istilah wakil sedangkan kepala desanya menggunakan istilah Kuwu.
..
Istilah kuwu itu sendiri sebenarnya istilah yg di wariskan pada era pakuwon dimana sebelum Kerajaan Islam yang dipimpin Sunan Gunung Jati terbentuk, Cirebon adalah sebuah wilayah Pakuwon. Pemerintahan masa lalu dengan jabatan tertinggi kuwu itu pertama kali dijabat Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang. Sebagai penghargaan atas jasanya memimpin pembabatan hutan untuk membuat perkampungan di wilayah Cirebon, putra Prabu Siliwangi itu diberi gelar Mbah Kuwu Cirebon. Beliau adalah paman dari Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Sumber: Cirebon. com).
..
Memang benar jika kita menggali kembali sejarah yg ada minimal hasil dari bertanya pada kakek nenek kita maka tak terelakan lagi bahwa daerah kecil ini ternyata dulunya pernah di lalui arus sejarah berupa daerah di bawah kekuasaan kerajaan Sumedang larang. Berbicara kerajaan Sumedang larang tentunya bicara adanya pergesekan yg menghasilkan budaya dan bahasa Sunda. Contohnya ialah sebagian wilayah di Indramayu menggunakan awalan "CI" pada nama desa atau kecamatanya seperti, Cinini, Cikedung, Cibenoang, Cipancuh dan bahasa yg mendekati ke arah bahasa Sunda seperti, babakan plasah, plasahkoneng, kosambinungku, haurgeulis, haurkolot dan sebagainya dan tidak semua daerah berawalan Ci adalah sunda. Ci itu sendiri berarti sumber air.
..
Untuk penggunaan bahasa ngapak di tempat saya tinggal di blok BBT desa Mekarjaya kecamatan Gantar itu sendiri sangat bervariatif. Bayangkan saja untuk penggunaan istilah kata ganti saya antar blok satu dan lainya sudah berbeda seperti "nyong", "kita", "kula", kata "isun/ingsun" sendiri biasanya di gunakan wilayah haurgeulis dan daerah tertentu. Juga kata ganti "reang" biasanya di gunakan oleh orang2 di kecamatan Kroya, Bongas dan lainya. Kata ganti orang kedua pun sama bervariatifnya seperti, "koen", "ira/slira mu", "rika", "sampean" hingga "panjenengan".
..
Bahkan penggunaan bahasa ngapak ala daerah tegal, brebes, cilacap, pekalongan dan daerah ngapak di jawa tengah lainya pun di tempat saya tinggal itu ada. Salah satu faktornya adalah adanya pondok pesantren modern terbesar se-Asia Tenggara yaitu Mahadz Al- Zaytun. Di pondok ini banyak sekali para karyawanya berasal dari luar daerah Indramayu (pendatang), utamanya dari jawa tengah dan jawa timur. Bahkan santrinya berasal dari berbagai kota bahkan negara tetangga. Sehingga ketika para pendatang bermasyarakat maka ada sisi saling belajar dan malah berakulturasi di antara keduanya.
..
Kini sejarah adanya bahasa ngapak dan penggunaan bahasa2 yg ada disini sudah mulai tampak jelas bahkan akan terus berkembang seiring perjalananya waktu. Dulu Indramayu adalah daerah yg tentunya bersama rakyat pernah melawan penjajah, utamanya di daerah karangampel, kaplongan dan sekitarnya. Dan hal itu menjadi tolak ukur dalam mempertahankan daerahnya. Kini sama halnya dengan daerah. Bahasa dan budaya pun tentunya harus di pertahankan dan di lestarikan sebagai suatu ciri khas menghargai warisan leluhur. Saya kutip sebuah pesan yg berbunyi:
"Urip ning alam dunya kien mung ngumbara, makane kudu inget dewek kien sapa, pokonemah aja tinema tinemu, kudu brayan urip karo sejene, kita kabeh kuh cuma wayange sing kuasa dadi, urip kudu sing ati-ati, gawe bae kebagjan aja gawe ala marang wong sejen". Mlajari tindak-tanduke wong bengen supaya inget bahwa kita kabehku mahluk sing berbudaya luhur, omat nang/nok aja dadi wong sing klalen marang budayane dewek.
Selamat merenung...
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde