Langsung ke konten utama

Wisata Keluhuran..

Oleh Woko Utoro

" I have a dream..." begitulah teriakan pidato yg mengguncang dunia dari Martin Luther King Jr ketika ia berpidato di Washington Monument pada era 60an. Pidato mengenai mimpi yg ia dambakan dan ia perjuangankan hingga sampai tiba saatnya ia harus terbunuh. Sungguh mimpi yg sangat mulia, ia berjuang melawan ketidakadilan antara warna kulit. Dimana warga kulit hitam selalu di rendahkan oleh warga kulit putih. Dan akhirnya mimpi Martin Jr itu terwujud. Kurang dari 50 tahun Barack Obama, orang kulit hitam pertama yg menjadi presiden di negri Adi daya itu. (St Sularto, 2010:133).
..
Seperti halnya Kang Martin Jr, saya pun memiliki mimpi ketika kami satu rombongan, beberapa alumni bisa berkunjung ke almamater yg dulu pernah membesarkan nama kami. Dimana sekolah tersebut telah membuat kami pangling. Ya MA NURUL HIKMAH HAURGEULIS (MANHIK) lah nama sekolah itu. Sekolah bernafaskan Islam yg mayoritas pendirinya adalah ulama, juga bangunanya yg hanya seukuran lapangan sepak bola dulu ketika kami bermain di lapangan sawah selepas panen tiba. Namun jangan sangka sekolah ini telah melahirkan, jiwa2 yg merdeka, jiwa2 yg setidaknya memiliki harapan untuk memajukan kampung halamanya. Seperti sebuah upaya revolusi mind set "from impossible to possible". Jangan lihat bangunanya, tapi lihat isinya.
..
Saya memiliki impian atau gagasan sederhana bahwa suatu saat nanti sekolah ini harus menjadi instansi rujukan untuk kebanyakan lembaga pendidikan khususnya yg ada di wilayah kabupaten Indramayu. Bukan tanpa alasan mengapa saya begitu berani menuliskan kata demikian, karena bagi saya sekolah inilah yg benar2 telah menerapkan pendidikan karakter, seperti halnya instruksi presiden terdahulu Indonesia yg selalu menggaungkan "character education", seperti halnya jepang yg sudah melampaui kita. Maka ilmu dan adablah diatas segalanya, bukan harta atau starata sosial. Jika dulu para alim sangat di hormati tapi kini para hartawanlah yg di hargai. Memang dunia kini menjadi terbalik. hehe
..
Sehingga jika saya bermimpi menjadi seorang Mentri Pendidikan, Kebudayaan & Pariwisata maka saya akan memiliki kebijakan untuk setiap sekolah agar meniru MANHIK. hehe. Karena di sekolah ini harmoni kesalehan ritual (religiusitas transenden) dan kesalehan sosial (religiusitas imanen) sangat di terapkan. Bayangkan saja seorang murid dan guru seperti layaknya seorang kakak dan adik yg saling bercengkrama antar satu sama lain. Walaupun mereka sadar tetap saja sekat hormat menghormati menjadi dasar utama dlm sebuah tatanan moralitas. Sisi yg menarik dari sekolah ini adalah selain pemenuhan terhadap jasmani juga pemenuhan atas ruhani menjadi hal yg di utamakan. Artinya peran guru dalam mengajar juga di imbangi dengan do'a yg mengalir untuk keberlangsungan murid yg bermanfaat. Jika demikian faktanya maka rasanya saya boleh berbangga hati jika ternyata selama ini saya telah di ajari oleh sang guru keluhuran. Dari itulah sang murid tak usah di perintah untuk menghormati gurunya, niscaya secara nature mereka melakukanya sendiri. Disanalah dorongan batin yg menggerakanya (the power of soul). Bahkan hingga tiba mereka bergelar alumni.
..
Dari tulisan sederhana ini saya berpesan kepada diri pribadi dan umum kepada alumni semua. Mari kunjungi sekolahmu dulu jangan sampai ada istilah "kacang lupa akan kulitnya". Jadi apapun anda hari ini ingat dulu anda adalah bagian dari kewajiban anda untuk bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Semoga anda tetap berwisata keluhuran, menjemput do'a dan ridho dari sekolah dan guru. Jika hari ini salah satu dari mimpi kita tak terwujud maka patut bertanya pada diri ini sudahkan kita bersyukur kepada sang pemilik jagat ini.
..
Semoga para murid sekolah ini di jadikan murid yg BBM (Berhasil, Barokah, Manfaat) dan para gurunya selalu (istiqomah, sehat dan panjang umur).
Semoga sekolah ini juga akan tetap lestari, membawa manfaat bagi orang banyak dan dapat menjadi lentera yg selalu menerangi, seperti halnya RA Kartini menulis “Door Duisternis Toot Licht", habis gelap terbitlah terang.
"Madrasati jannati"
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde