Langsung ke konten utama

Spiritual Preneur
..
Oleh Woko Utoro

Siapa orangnya yg tidak mau hidup bahagia? Pasti jika di tanya mau apa tujuan hidup ini pasti semua serentak menjawab "saya ingin hidup bahagia". Kebahagian adalah sebuah sifat dan sikap. Sifat yg boleh ada dan harus di upayakan. Serta sikap yg harus di lakukan berdasarkan kaidah kebijaksanaan. Kebahagiaan adalah sebuah hal yg bersifat relatif dan subjektif. Tentunya orang2 akan menemukan kebahagiaanya sesuai dengan versinya masing2. Frame kebahagiaan akan tergambar seiring dengan upaya keras dari individu itu sendiri.
..
Kata orang jawa kebahagiaan itu "naliko aku wes dadi wong" artinya jika seseorang sudah mampu membeli segalanya yg ia inginkan atau ketika aku sudah kaya, itulah bahagia. Maksimal kebahagiaan itu bisa di beli. Salah satu yg dapat membeli kebahagiaan adalah dengan cara berbisnis. Bisnis adalah salah satu hal yg dapat menghasilkan keuntungan. Barat memiliki konsep "memiliki modal kecil berharap untung besar". Disinilah letak kesalahan para saudagar ketika menjalankan bisnisnya mereka terlena dengan dunia, mengejar profit yg tinggi, tidak memiliki kepuasan, menghalalkan segala cara, saling ejek, menipu, mengurangi timbangan, menimbun dagangan, praktik riba dan sebagainya. padahal pepatah jawa memberi pesan agar mencari harta dunia itu Sakmadya (seperlunya) saja. 
Spiritual preneur sendiri bertujuan untuk berupaya agar manusia tersadar bahwa antar kebutuhan dan kepentingan harus di seimbangkan. Antara relasi dunia akhirat harus di seimbangkan. Karena dunia adalah tempat menanam sedangkan di akhirat adalah tempat memanen. Hidup tidak selalu melulu berorientasi pada uang dan keuntunganya tapi hidup kadang harus mengerti mana kewajiban dan mana arti dari rasa saling berbagi. Atau ada pertanyaan apakah ada bagaimana cara kaya sebelum bekerja?. Tentunya pekerjaan itu penting. Maka berwirausaha sangat di anjurkan sekali. Karena Wira itu sendiri berarti "gagah berani" dan usaha juga sama dengan "bisnis". Maka berbisnislah dengan sehat.
..
Kita dapat mengambil inspirasi dari sang inspirator agung Kanjeng Nabi Muhammad saw ketika beliau menjadi pedagang yg menjajakan daganganya ke Syam dan menjajakan dagangan milik Sayyidah Khadijah binti Khuwailid dimana beliau merupakan sosok niagawan yg sangat jujur dalam berdagang sehingga disinilah titik temu dengan istilah spiritual preneur dan prophetic preneurship (bisnis ala kenabian). Intinya spiritual preneur ialah mengajak kepada para pengusaha untuk menjadi pebisnis yg berlandaskan nafas relijius dari sifat kenabian. Sehingga jika mentalitas itu bisa terbangun dalam dunia bisnis sejak dini maka hal-hal yg telah di sebut di atas tidak akan terjadi. Justru akan menjadi ladang introspeksi bahwa harta yg di buru selama ini adalah harta amanah yg di dalamnya pula terdapat beberapa persen milik orang lain. Jika para pebisnis melakukan hal2 yg aniaya atau hal2 yg di larang agama berarti ia satu langkah telah menciptakan penyakitnya sendiri. Walaupun memang penyakit itu bukan penyakit fisik melainkan penyakit ruhani, dan hal itu lebih berbahaya dari penyakit fisik. Sehingga bukan rahasia umum lagi penyakit fisik kronis sering menjangkit pada para orang kaya dan jarang sekali mengenai orang miskin. Disinilah pentingnya menggunakan etika berbisnis.
..
Dalam buku "Wong Sugih Mati Keluwen" Mas Gesta Bayuadhy menuliskan pesan orang jawa kepada kita semua agar terus belajar "Aja dumeh lagi sugih, seneng ngremehke liyan" artinya jangan sombong ketika kita jadi orang kaya dan merendahkan orang lain. "Tetep eling lan waspada, sing waras ngalah becik ketitik ala ketara sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti". Intinya bahwa kita harus ingat Gusti Allah dan tetap waspada serta upaya jahat apapun yg kamu lakukan pada akhirnya akan terkalahkan pula dengan kebaikan.
Jika hal kebaikan tersebut tidak mampu di wujudkan berarti inilah yg di sebut zaman edan dan hal itu merupakan puncak dari ironi zaman. Yang kaya makin kaya yg miskin makin miskin (the rich richer the poor poorer). Jadilah pebisnis yg memiliki nilai keimanan.
#Salam_Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde