Langsung ke konten utama

Mahabbah
..
Oleh Woko Utoro

Mahabbah (cinta).
Satu kata ini sedang merasuk kepada siapa saja yg merasakan arti cinta. Dari mulai anak SD sampai orang dewasa mengerti semua apa itu cinta. Virus2 percintaan sudah di sebar melalui banyak hal apalagi sekarang zaman digital. Sinetron tak layak konsumsi sudah mulai menyatroni. Miris rasanya.
Tentunya percintaan antara anak zaman now dan zaman old pasti berbeda. Atau berbeda tipis. Mungkin yg membedakan hanya waktunya saja.
..
Pantas saja orang yg mengerti akan cinta sampai lupa dahaga, lupa daratan atau buta di buatnya. Entah itu cinta ABG atau cinta monyet. Cinta yg seperti itu belum ada apa2nya di banding dengan Mahabbatullah (cinta kepada Allah). Mahabbahtullah merujuk, bertaqorrub kepada kepatuhan dan ibadah. Tapi jika cinta yg saya sebutkan di atas merujuk pada kemaksiatan. Cinta kpd manusia adalah bagian dari kenikmatan tapi cinta yg teramat besar adalah cinta kepada sang pemberi nikmat itu. Kita bisa mengaplikasikan cintanya para Arifin dengan mempelajari sifat Rahman Rahimnya Allah untuk di sebar ke muka bumi.
Khalifah fil Ardy bertugas menjaga bumi bukan malah merusaknya. Jika ada cinta tentunya ada rahmat yg menyertainya. Jika tiada cinta maka yg ada hanya murka.
..
Ahmad Syauqi bin KH Arief Mustaqim mengemukakan bahwa analogi mahabbah itu seperti Laron dan narr nur. Mari kita simak pembahasanya. Laron adalah hewan kecil (serangga) yg keluar bergerombol guna mencari sumber cahaya (nur). Laron biasanya hadir sebagai pertanda datangnya musim hujan. Dan khusus laron dewasa ia sudah memiliki saya yg siap untuk terbang kesana kemari.
Laron adalah hewan yg unik ketika di rumah kita mati listrik maka biasanya sang ibu menyalakan lentera (lilin atau damar) dalam hal ini penerangan dari api (narr). Sang laron akan beterbangan menuju sumbercahaya itu. Ia sangat bersemangat menuju sumber cahaya itu.
Namun ada saja laron yg lain yg hanya menunggu cerita dari laron lainya seputar pengalamanya menemukan sumber cahaya lilin itu (narr). Hingga sang laron pun benar2 terbang menuju cintanya terhadap cahaya itu. Ia benar2 pandangi cahaya itu dengan lezat dan syauq (rindu). Katanya "inilah yg aku cari selama ini." Lalu sang laron terbang kembali ke laron yg lainya guna menceritakan pengalamanya bahwa aku menemui suatu hal yg aku cintai hal itu terbukti dengan sayap sang laron yg terbakar oleh panas dari cahaya lilin itu. Hingga sang laron yg lain percaya bahwa cintanya itu telah membutakan semua. Rasa dari ribuan rasa tiada berarti apa2 tinimvang perasaan cinta yg melekat begitu besar, katanya. Semuanya yg ada hanya dzat yg indah. Semua keindahan dan kecintaan telah menutupi matanya hingga sang laron pun hanyut bersama cahaya lilin tersebut. Ia rela membakar dirinya dan fana (hilang) bersama cahaya yg ia cintai. Sesungguhnya cinta telah mengubah semuanya menjadi indah. Ahli Sufi memandang bahwa mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan dan kecantikan. Cinta itu buta, ya. Karena tiada apapun lagi kecuali dzat yg satu, yg Maha Indah.
..
Begitu besarnya arti cinta sampai Rabiah al Adawiyahpun tak mampu mendefinisikan cinta dengan definisi apapun. Tentunya cinta kpd Allah swt. Imam Ghazali menyebutkan bahwa mahabbah adalah pucuk tertinggi maqomat kesufian. "fa innal mahabbah fillah azza wajalla hiya al ghayah qushwa minal maqomat wa dzirwah al ulya minal darajat..."
Cintailah Allah, Rasul, ibu bapak dan sesama.
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde