Langsung ke konten utama

*Jejak Spiritual*


Oleh: Woko utoro
Tulisan sederhana ini bukan narasi yg tersaji dalam sebuah acara salah satu televisi yg penuh dengan manipulasi. Tulisan ini merupakan seuntai pengalaman sederhana yg di rasakan penulisnya. Selamat mengikuti.
.
Pada malam jum'at kliwon kemarin (5/1/18) selepas pengajian yg saya ikuti di PonPes Sholahiyatul Fatah tepat pukul 23:00 malam saya di ajak teman ke sebuah acara yg dimana acara tersebut hanya saya ketahui dari sebuah "katanya", hingga saya sendiri dapat menghadiri langsung kesana. Acara tersebut adalah amalan Dzikrul Ģhafilin. Dimana acara sebelumnya yaitu semaan al Qur'an Jantiko Mantab. Jantiko sendiri di ambil dari kata dlm bhs jawa yaitu anti kolir, maksudnya jamaah anti putus asa, ngresulo, maksiat meskipun segi ekonomi atau fikiran jamaah lemah atau kurang (fuqoro). Dan kata Mantab diambil dari bahasa arab, "mantaba" yang artinya orang - orang yang bertaubat. Serta Dzikrul Ghafilin ini berarti dzikir bagi orang2 yg lupa. (*Dzikrul Ghofilin.blogspot)
.
Ketika saya sampai di tempat acara sungguh saya di suguhi pemandangan yg masyaallah, padahal hari semakin malam tapi jamaah semakin setia dan makin bertambah demi mengikuti acara tersebut. Jumlah jamaah yg hadir layaknya pada acara peringatan Haul. Mungkin inilah karomah dan kharisma muallifnya yaitu KH Chamim Jazuli atau lebih di kenal dengan Gus Miek. Serta tokoh lain yg berperan di dalamnya yaitu KH Hamid Pasuruan dan KH Ahmad Shiddiq Jember. Ketiganya termasuk tokoh sentral sekaligus tiga serangkai amalan ini.
Sesampainya di maqbaroh/pasarean al maghfurllah Gus Miek kami langsung menuju masjid al Auliya karena tempat utama sudah di banjiri ratusan jamaah dari berbagai penjuru, utamanya jawa timur. Di masjid kami langsung mengikuti proses pembacaan amalan tersebut, mulai dari tawasul, tahlil sampai pembacaan suratul fatihah berulang-ulang kali.
Pada saat awal pembacaan tersebut sontak saya terkaget karena badanya saya mendadak seperti bau telur busuk, padahal sore harinya saya mandi dengan harumnya. Hingga saya bertanya pada jamaah di sekitar saya, dan mereka menjawab tidak mencium bau apa2. Hingga saya langsung tersadar ya Allah apakah ini, dan memang benar hamba sangat sadar bahwa pribadi ini tidak luput dari dosa yg berlumuran. Hamba sangat berbeda dengan para waliyullah yg sedang banyak di ziarahi oleh orang banyak ini. Walau jasad mereka tiada tapi ruh dan warisanya akan tetap ada selamanya. Walaupun mereka telah wafat akan tetapi masyarakat masih tetap merasakan dampaknya. Pertumbuhan ekonomi menjadi berkembang karena disitu terletak makam kekasih Allah. Sedangkan saya hanya berfikir bahwa pribadi ini belum menjadi secuil biji pun. Apa yg akan saya bawa ke negri akhirat nanti jika bukan sebuah amal yg baik.
.
Selepas pulang dari acara saya pun langsung membaringkan tubuh lelah ini di antara hamparan lantai yg dingin tersentuh angin malam, bersama kawan2. Hingga terbangun dengan membawa mimpi. Saya bermimpi melihat ibu sedang menangis di antara anak2nya yg saya sendiri tidak tau ta'wil dari mimpi tersebut. Atau ini adalah salah satu isyarat langit bahwa ada seorang anak yg sedang di rindukan kehadiranya oleh seorang ibu.Yang jelas semoga tidak ada apa2 yg menimpa keluarga saya di rumah. Saya selalu mengiri doa untuk mereka ketika di tiap2 sholat dan dzikir. Semoga mereka terhimpun dalam lindungan sang maha perkasa Allah swt.
.
Begitulah seuntai pengalaman saya. Darinya saya harus lebih giat lagi untuk belajar dan menimba ilmu, atau paling minimal bisa berkumpul dengan ahlul ilmi dan "shohibul karomah wal fadhilah", para waliyullah, agar hidup selalu di liputi petunjuk menuju sang maha Rahman Rahim. Hingga Dr Haidar Bagir mengingatkan saya untuk selalu berhati2 di zaman kacau ini, yg beliau sendiri menawarkan solusinya dengan menggali kembali peradaban dan menggali spiritual ala sufisme. Seperti halnya Kyai Nashiruddin at Tunggulsary berpesan untuk selalu menggunakan minimal di antara magrib dan isya untuk selalu berzikir dan menuai amalan agar taqorrub kepada Allah, jangan gunakan waktu itu untuk hal yg sia2.

#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde