Langsung ke konten utama
Kiai & Politik
..
Oleh Woko Utoro

Setelah pertarungan politik di Jakarta berakhir dengan kemenangan pasangan nomor urut 3 tentu panasnya dunia politik di Indonesia belum berakhir. Dan sampai kapanpun akan berduel seru, bagai pertandingan MMA yg saling sikut sana sini. Setelah di Jakarta yg penuh dengan drama itu kini dua provinsi akan mengikuti jejak langkah itu dan akan memanas tentunya. Provinsi jawabarat dan jawatimur lah yg dimaksud. Karena dua provinsi itu kini, menjadi sorotan karena akan menghadirkan duel seru para calon dan partai yg mengusungnya. Bahkan salah satu yg unik ialah yg selama ini salah satu partai Islam yg berseteru dengan kalangan nasionalis malah bersatu mengusung kandidatnya agar maju ke muka umum dalam pemilihan kepala daerah nanti.
..
Kemarin selepas pengajian kitab kiai saya memberi pesan pada para santrinya agar mendukung salah satu pasangan bakal calon gubernur jawa timur. Hal tersebut berdasarkan instruksi bersama para kiai sepuh sewaktu berkumpul bersama di salah satu pondok kenamaan di wilayah kediri. Namun pak kiai tetap membebaskan para santri yg utamanya sudah berKTP untuk memilih sesuai dengan hati nuraninya. Walaupun saya bukan orang jawatimur saya hanya mengangguk saja "iya".
..
Sebenarnya fenomena kiai dapat menentukan garis politiknya bukan sebuah fenomena baru dalam kancah percaturan politik di Indonesia melainkan sudah sejak lama. Bahkan usaha yg di berikan para kiai demi memajukan negara seperti tiada harganya di mata birokrasi maka, jalan satu2 adalah masuk keranah politik. Dalam buku "Perselingkuhan kiai dan kekuasaan" karya Dr Endang Turmudi mengatakan bahwa sebenarnya ketika peran kiai masuk dan memerankan permainan di kancah politik itu adalah sesuatu hal yang wajar akan tetapi semakin kesini peran kiai semakin tidak proporsional. Kiai menjadi hilang kharismanya karena terlalu sibuk melirik permainan politik yg notabene menggunakan 1000 jurus itu. Sehingga penilaian masyarakat terhadapnya menjadi kumpulan dari stigma negatif. Hanya memanfaatkan otoritasnya sebagai alat menampung suara. Namun semua itu juga tidak bisa di generalisir dan di telan mentah2, sebagai upaya penilaian melainkan sebagai metode cara pandang lain terhadap sebuah fenomena. Tapi disisi lain peran kiai telah berjasa besar bagi perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu buktinya adalah kiai yg ikut andil dalam perumusan dasar negara yg bersifat fundamen. Tak jarang pula peran kiai dan pesantren menjadi tujuan dari para tokoh yg akan maju menuju kursi kekuasaan mungkin, hanya sekedar meminta restu atau bahkan citra politik. Dalam dunia politik apapun bisa terjadi layaknya pada permainan sepak bola. Kawan bisa jadi lawan.
..
Saya yakin bahwa para kiai pastinya memiliki pendapat khusus mengenai hal ini. Namun jika kita melihat dengan seksama kiai khowas yg biasanya berada di desa lebih cenderung tidak mau ikut campur masalah politik, biasanya kiai di desa lebih concern membina moral dan keilmuan santrinya. Berbeda dengan kiai intelektual yg kadang tidak jarang pula menerima pinangan parpol demi memenuhi hajatnya. Disinilah beban moril para kiai dalam suguhan wacana ke dpan. Kiai yg fenomenal dlm kancah politik hingga kini mngkin baru KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
..
Saya cuma berfikir sederhana bahwa untuk ukuran PEMIRA di kampus saja sangat ramai dan memanas rasa politiknya apalagi, jika berfikir merebutkan RI-1, pastinya penuh dengan drama dan strategi. Kata al-Farabi (filsuf Islam, 870-950 M) beliau mengatakan bahwa politik adalah seni mengatur masyarakat guna mencapai kebahagiaan hal itu senada dengan apa yg di katakan Aristoteles. Tentunya kebahagiaan itu tercerminkan dalam harmoni sosial dan ketentraman batin yg harum mewangi. Sehingga orang yg menciumnya akan berdecak kagum. Karena dalam tatanan sosial bernegara berlandaskan asas kerja dan usaha. Negara ini bukan tercipta atas asas kun-fayakun melainkan saling bekerja sama.
"Jika bangsa indonesia berada pada kecenderungan indiviualistik dan materialistik maka, berpolitiklah dari pada hanya apatis dan berdiam diri" anonim.
#Salam budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde