Langsung ke konten utama

Nandur Kebecikan
..
Oleh Woko Utoro

Tahukah anda bahwa setiap tanggal 28 November adalah hari menanam pohon nasional. Hari itu merupakan sebuah gerakan yg tujuanya untuk menyelamatkan alam dan upaya untuk menjaganya agar tetap lestari. Bahkan saking cintanya terhadap kelangsungan hidup alam dan generasi penerus pernah ada sang ibu sampai rela menukar nyawanya demi memperjuangkan haknya sebagai aktivis peduli lingkungan agar upaya mendirikan pabrik semen di kampungnya urung di lakukan. Tapi nyatanya beliau wafat.
..
Pepatah mengatakan "jangan kau warisi air mata tapi warisilah mata air untuk anak cucumu" maka pantaslah jika upaya dalam konservasi alam sangat di gelorakan para aktivis pecinta lingkungan. Kemarin (7/1/18) saya beserta para teman2 dari berbagai kalangan berkesempatan ambil bagian dalam mengikuti acara nandur bareng. Acara tersebut di gagasan oleh temen2 yg tergabung dalam paguyuban pemuda bonorowo (p2b). Mereka merasa terpanggil bahwa alam semakin lama semakin kritis, butuh sentuhan manis dari tangan2 yg memiliki kelembutan, agar alam menjadi sahabat baik layaknya dulu di era para orang tua kita. Untuk pohon yg di tanam sendiri bermacam2 utamanya pohon yg bernilai produktif seperti jambu dan rambutan serta pohon menjaga air seperti trembesi dan beringin. Bahkan ada beberapa pohon yg di tanam dari hasil swadaya masyarakat seperti jeruk, kurma dan beberapa jenis bunga hias.
Dari alam kita di sediakan apapun, maka dari itu pantas rasanya jika rasa terimakasih kepada Tuhan yaitu dengan cara merawatnya. Ekosufisme sendiri mengajarkan kepada kita untuk hablumminal alam, selain kita habluminanass. Merawat alam untuk kelangsungan kehidupan.
..
Falsafah jawa mengingatkan bahwa becik ketitik olo ketoro, artinya segala sesuatu perbuatan yang baik pasti akan menuai kebaikan, dan setiap perbuatan buruk dan jahat akan terkuak dikemudian.
Bersama dengan hal itu menanam pohon adalah bukan sekedar perbuatan menggali tanah dan menanami sebatang kayu yg berdaun melainkan lebih dari itu. Menanam pohon adalah seni investasi terhadap masa depan. Layaknya shodaqoh jariyah sekecil apapun akan nampak besar bagi mereka yg membutuhkanya. Mungkin hari ini tidak terlihat manfaatnya tapi nanti. Lihat beberapa tahun yg akan datang.
..
Jika dulu memprediksi alam dengan tangan kosong masih sangat mudah dan sering kita jumpai tapi sekarang sangat sulit sekali jika tanpa alat bantu yg canggih. Alam seolah berubah, ia sekarang seolah menjadi garang. Bencana dimana2 dan lagi2 alamlah yg jadi kena batunya, padahal manusialah yg membuatnya berubah.
Semoga wasilah menanam pohon dapat menjadikan kita selalu menanam kebaikan dimanapun kita berada karena sesungguhnya amal yg baiklah yg akan kita bawa ke negri akhirat.
..
Dalam sebuah tulisan yg saya temukan (Sukoasih) berpesan"Nandur kecik ora bakal thukule telo. Yen nandur becik ora bakal ngunduhe olo"
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde