Langsung ke konten utama
Kesadaran Cinta
..
Oleh Woko Utoro

Suatu hari kang santri sedang berjalan2 di pematang sawah di belakang rumahnya, sembari menghafalkan bait demi bait nadhom al fiyah karya Ibnu Malik yg sangat syahdu dan terkenal itu. Tiba2 ia bertemu dengan sang anak gembala dan akhirnya tegur sapa pun tak terhindarkan. Setelah sekian lama mereka tak bersua. Sang anak gembala itu mengajukan banyak pertanyaan kpd kang santri, ajimumpung ada orang berilmu ujarnya. Hingga ia pun bertanya seputar cinta dan asmara, dan hal itu membuat kang santri tersenyum dan tertawa.
..
Sang anakpun to the point saja. Katanya sang anak gembala itu ia merasa telah di bohongi oleh cinta. Katanya cinta telah berseluruh denganya, dulu ada seseorang penuh harap menuturkan jalan serta berniat membantunya dalam mendapatkan cinta seorang gadis yg merdu suaranya, lagi putih perangainya. Anak gembala sendiri sadar bahwa dia bukan siapa2 yg ingin mendapatkan gadis idaman itu. Bagai langit dan bumi, jauh sekali rasanya. Namun, bukan itu yg ia inginkan, melainkan sebuah jawaban sederhana dari seorang gadis itu. Tapi sungguh di sayangkan, benalu yg dulunya berjanji untuk numpang hinggap di antara dahan dan ranting, kini justru ia telah membunuh secara perlahan sang batang pohon itu.
Hingga saatnya seseorang yg berniat membantunya itu malah yg mendapatkan cinta sang gadis.
Bagi sang anak gembala ini adalah penusukan secara halus dan lembut. Walaupun memang ia hanya seorang anak gembala namun, ia masih punya harapan dan sepercik cinta, tentunya murni untuk menyukai seorang gadis itu. Dan kini semuanya telah sirna, semua telah berubah setelah negara api menyerang. Sang gadispun sadar bahwa sejak dari dulu sang anak gembala lah yg menyukainya terlebih dahulu. Dengan kondisi tersebut aku lalu harus bagaimana kang, ujar sang anak gembala?
..
Kang santri pun tersenyum dan berkata ia memang al isyq atau (cinta) itu sering memakan banyak korban, dan jika sudah terjangkit penyakit itu rasanya sulit untuk sembuh. Sesaknya bertumpuk di dada. Sampean itu seperti kisah Qeis yang tergila-gila kepada Laila, kata kang santri. Mereka dulu juga seseorang yg sama mengembala, namun sayang Laila di dahului di persunting oleh orang lain. Lha trus apakah ada penjelasan lain kang?, mungkin dari kitab yg sampean pegang itu, pungkas anak gembala menunjuk kitab al Fiyah kang santri. Ohh ada..lalu kang santri pun menunjukan satu bait yg berbunyi:
و هل فتى فيكم، فما خل لنا ...
-Apakah sudah ada seorang laki-laki di sampingmu?
-Karena saya belum memiliki kekasih.
Nah bait berikut merupakan contoh dari bentuk mubtadha yang terbentuk dari isim nakiroh.
Yang intinya dalam menyatakan cinta itu kita harus mengobservasi dahulu calon pasangan kita, apakah apakah dia sudah punya kekasih atau belum. Karena saling mendahului, bukanlah suatu tatakrama yg baik. Artinya kita harus memperhatian bagaimana hati berkata, sebab masalah hati itu sulit terlihat dan bagaimana rasanya hanya seseorang itulah yg merasakanya. (Ucef Mizwar, 2016).
..
Seperti halnya sebuah kepemilikan dalam tawar menawar di sebuah pasar, jika sudah ada yg menawar barang itu dan sudah di miliki orang yg punya, kita sebagai pembeli selanjutnya tidak boleh membelinya dan sang penjualpun tak boleh menjualnya walau dengan harga yg tinggi. Memang begitulah cinta kang, kadang membuat si pemujanya sulit untuk bangun setelah beberapa saat tertidur dan di ninabobokan oleh keadaan. Hingga kitalah yg harus bijak dalam menyikapinya. Cinta adalah untaian dari segudang rahasia. Saya sendiri belum mengerti apa itu arti cinta dan saling memiliki, pokok intinya selagi kita terus berusaha pasti Allah akan terus memberikan jalanNya. Jalan lurus yg tentunya menuju samudera cintanya yg dalam. Sang Sufiyyah agung Rabiah al adawiyah sering berpesan pada kita bahwa cinta adalah perkara yg sulit di cerna (di artikan) namun ia bisa di rasa, bahkan saking lezatnya sampai tak sadar bahwa ia berhadapan dengan panasnya api dalam bara yg menyala.
Gimana kang, paham?, tanya kang santri. Ndak, kang..jawab sang anak gembala singkat. haha
Dan semuanya pun tertawa.
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde