Langsung ke konten utama

Haurgeulis Kota Pluralis
..
Oleh Woko Utoro

Haurgeulis sebagai salah satu kecamatan yg ada di kabupaten Indramayu tentunya memiliki sejarahnya sendiri, sehingga patut di tuliskan dalam sebuah tatanan kalimat yg panjang. Lebih lagi di gali terus sejarahnya, syukur2 di sampaikan kepada generasi penerus agar tetap lestari.
Sejarah yg umumnya masyarakat tahu, Haurgeulis berasal dari dua kata dalam bahasa sunda kuna yaitu Haur berarti bambu dan geulis berarti cantik atau ayu. Sehingga masyarakat jawa menyebutnya pring (bambu) dan ayu (cantik). Menurut mbah saya dulu wilayah ini banyak sekali pohon bambu yg tumbuh menjulang dan bambu itu memiliki ke khasanya sendiri.
..
Dalam riwayat lain mengatakan bahwa Haurgeulis dan daerah sekitarnya dahulu sekitar abad ke-16 adalah daerah di bawah kekuasaan kerajaan Sumedang larang.
Sempat terjadi polemik antara penguasa Indramayu dengan penguasa Sumedang mengenai status wilayah ini.
Menurut legenda, penguasa Indramayu (lewat Nyi Endang Dharma) menyiapkan strategi khusus untuk bisa mendapatkan hak kekuasaan wilayah tersebut dari Kerajaan Sumedang Larang. Nyi Endang Dharma (yang konon awalnya adalah seorang lelaki sakti) mengubah wujud aslinya menjadi seorang wanita yang cantik jelita. Kecantikannya membuat penguasa Sumedang saat itu, Pangeran Aria Soeriadiwangsa I dari Ratu Harisbaya (istri kedua Prabu Geusan Ulun Adji Putih), jatuh cinta dan berniat menikahi Nyi Endang Dharma. Prabu Geusan tak mengetahui bahwa wanita cantik tersebut sebenarnya adalah musuhnya. Nyi Endang Dharma pun menerima tawaran dari Pangeran Aria Soeriadiwangsa, namun dengan ketentuan Sang Pangeran mau memberikan untuknya wilayah yang kelak akan dijadikan tempat tinggalnya. Tanpa berpikir panjang, Prabu Geusan yang sudah terjebak oleh kelicikan Nyi Endang Dharma, langsung mengabulkan permintaannya demi cintanya.
Namun setelah Prabu Geusan Ulun mengikrarkan janjinya, tiba-tiba ia pun sadar bahwa Nyi Endang yang dicintainya adalah musuh besarnya dari pesisir utara. Semua wilayah yang ia berikan tadipun lenyap dan jatuh ke tangan Indramayu. Wilayah itulah yang kini menjadi daerah Haurgeulis dan sekitarnya. (Sumber: Wikipedia).
..
Dari cerita di atas tentunya banyak sekali keganjilanya, terutama apakah Nyi Endang Darma melakukan taktik licik itu?. Nah begitulah sifat dari sejarah yg mana masih bisa di perselisihkan kembali. Disinilah tugas kita untuk menggali sejarah yg sebenarnya.
..
Haurgeulis walaupun sebuah kecamatan akan tetapi masyarakat umum sering menyebutnya kota. Seperti halnya kecamatan lain di Indonesia yg menjadi kota karena terkenal seperti, kecamatan Pare di Kediri dan kecamatan Batu di Malang Jawa Timur. Kota Haurgeulis merupakan kecamatan dengan aktivitas tersibuk bersama dengan kecamatan Jatibarang yg ada di Indramayu ini. Hal itu di sebabkan karena adanya pasar dan stasiun kereta api. Disitulah masyarakat menggantungkan hidupnya dengan berniaga.
..
Ternyata ada hal unik yg saya pun baru sadar bahwa kota ini telah menjadi kota dengan tingkatan sosial yg heterogen. Kota ini ternyata kota dengan kondisi demografi yg padat dan bervariatif. Haurgeulis (HGL) menjadi rumah yang nyaman bagi agama2 yg berkembang di Indonesia seperti, Islam, Protestan, katolik, mungkin ada penganut hindu budha dan aliran kebatinan. HGL juga menjadi tempat bernaungnya aliran2 keagaman dan ormas2 Islam seperti, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, LDII, AL-Irsyad, PUI, Syahadattain bahkan HTI. HGL juga sebagai kota pendidikan dengan jumlah yg banyak mulai dari, TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA bahkan perguruan tinggi. HGL juga sebagai kota dengan penduduk yg beragam, ada jawa, sunda, minang dan cina. Tentunya bahasanyapun beragam pula seperti, sunda, jawa, jawa halus dan ngapak, serta bahasa ibu bhs Indonesia. Dan masih banyak lagi yg lainya.
..
Dari keberagaman itulah mari menciptakan suasana damai dan mengamalkan "Bhinneka Tunggal Ika". Negeri ini di cipta bukan dari hal yang sama melainkan, dari hal yg berbeda. Kata Gus Dur "dimana kita melihat titik perbedaan itu, disitulah letak kesamaan kita".
Salam Damai....
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde