Langsung ke konten utama

Zuhud di Era Modern
..
Oleh Woko Utoro

Ketika pertama kali orang2 mendengar istilah tasawuf, kebanyakan dari mereka merasa elergi, merinding atau bahkan ketakutan, padahal tidak sampai seperti itu. Hal yg demikian hanya asumsi belaka, faktanya istilah tasawuf masih familiar di kalangan orang2 terutama masyarakat pedesaan dalam pengamalan thariqoh. Sedangkan thariqoh sendiri berarti jalan, atau tuntunan.
..
Sebelum istilah tasawuf berkembang seperti sekarang ini, dulu ketika kemunculanya tasawuf hanya di kenal dengan istilah zuhud, sehingga sekarang kita perlu menggali kembali nilai historis yg sejak lama terpendam. Di sisi lain agar tidak menimbulkan salah faham.
Zuhud jika di pahami secara tekstual berarti suatu sikap melepas diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat (Ilmu tasawuf: Prof Rosihon&Prof Solihin, 2014). Akan tetapi dari hal itu kebanyakan orang mengartikan zuhud dengan leterlek (saklek) yaitu sikap lebih mementingkan akhirat dari pada dunia. Sehingga kontruksi fikiran orang langsung tertuju pada orang2 yg sering beruzlah, berkhalwad, bertahannus, menyendiri, berdzikir, sering menangis dan lain sebagainya. Padahal itu semua tidak tepat.
..
Jika zuhud di pahami demikian maka, rusaklah dunia ini. Padahal asas Islam sendiri yaitu semangat, bekerja, beribadah, dan bermuamalah. Artinya antara sisi duniawi dan ukhrawi seimbang. Banyak sekali contoh orang2 yg masuk kategori itu seperti Usman bin Affan (selain sahabat Nabi beliau juga seorang yg sangat zuhud dan wara dan kaya pula), Malik bin Dinnar (beliau seorang sufi lagi seorang raja), Abdurrahman bin auf (bahkan kunci gudang hartanya di angkut dengan unta), Abu Hasan As Syadzili (beliau sufi besar sekaligus petani yg sukses), juga Prof Dr KH Kadirun Yahya, Msc, Bsc (Beliau seorang mursyid thariqoh Qadiriyah wa Naqsabandiyah juga seorang akademisi) dan lain sebagainya.
..
Jika kita sudah mulai paham apa itu tasawuf, apa itu zuhud maka tindakan kita selanjutnya adalah pengamalanya. Sebenarnya secara tidak langsung kehidupan kita sehari2 selalu di kelilingi aspek2 tasawuf seperti, cara berperilaku, adab guru dan murid, bertutur yg baik, dimensi ibadah, mengosongkan hati yg kotor, mengisinya dengan kebaikan dan lain sebagainya. Hal itu ter maktub dalam tasawuf akhlaki. Sehingga orang mulai sadar bahwa bertasawuf itu tidak harus menempuh jalan yg rumit, ternyata proses perbaikan amaliyah juga termasuk proses bertasawuf.
..
Sama hal nya dengan tasawuf, zuhud jika dalam keseharian pun kita sering jumpai dimana ada orang yg dia sendiri merasakan lezatnya ibadah di tengah aktivitas. Dalam istilah jawa yaitu topo ngrame, artinya kita menghadirkan Gusti Allah di tengah keramaian, sepi dalam ramai dan sebaliknya. Biasanya kita hanya mampu mengingat Allah dalam waktu tertentu saja, nah dalam kaitanya zuhud ini mampu menghadirkanya setiap saat, tak terbatas waktu. Maka pantas jika hal ini berhasil di terapkan tidak mustahil kejahatan dari mulai kelas teri sampai kelas kakap tidak akan pernah terjadi. 
..
Perlu di ingat bahwa dalam pengamalan zuhud kita bukan di latih menjadi manusia yg tak butuh dunia, melainkan menjadikan dunia sebagai jembatan menuju tujuan akhir. Bukan menjadikanya tujuan utama. Ingat bahwa "Ad Dunya Majraatul akhirah", dunia tempat menanam dan akhirat tempat memanenya. Maka rawatlah dunia untuk kemuliaan akhirat. Jika masih ada orang yg hanya memikirkan syurga dan akhirat saja, maka di wajibkan orang tersebut belajar terlebih dahulu. Ada pepatah mengatakan "logika tanpa logistik, LIAR", artinya ibadahpun butuh energi, makanan adalah energi, makanan di peroleh dengan berusaha (kerja), maka kesimpulanya bekerjalah untuk mu dan TuhanMU.
..
"Sehari-hari Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Senantiasa berada di tengah dan bersama umatnya dalam suka dan duka. Dengan cara seperti itulah beliau berma'rifat, dan bukan dengan hidup menyendiri di tempat sunyi" Begitulah pesan Buya KH. Endang Bukhari Ukasyah, (pengasuh PonPes Asyrofuddin, Conggeang Sumedang).
Selamat Merenung..
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde