Langsung ke konten utama

Ojek broo

*Ojek*


Oleh: Woko Utoro
Mode transportasi yg satu ini mungkin bisa di bilang tradisional seperti kebanyakan orang menyebutnya dengan ojek.
Ojek sangat bermacam2 seperti, ojek becak, andong, delman dan sepeda motor. Bahkan dulu kita juga mengenal bemo, tortor oplet dan sebagainya. Serta ojek modern seperti taksi, kereta, pesawat dan kapal. Namun istilah ojek lebih merujuk pada kendaraan motor roda dua. Lebih lagi ojek sekarang sangat mudah di jumpai seiring dengan kecanggihan teknologi. Ojekpun berafiliasi dengan sistem online. Sehingga ojek yg biasanya bersandar di pangkalan sekarang sudah beralih di ujung jari. Ojek online sedikit demi sedikit akan menggerus penghasilan tukang ojek tradisional.
..
Beberapa sumber yg saya baca seperti di wikipedia ataupun di laman goodnews ojek/ojeg berasal dari kata objek. Dulu orang hanya berniat membantu memindahkan barang dari pasar ke tempat tujuan. Sehingga W.J.S Perwadarminta menyebutnya sebagai sepeda yg di taksikan. Maka pantas jika ojek dulu masih menggunakan sepeda onthel sebagai jasa angkutanya. Secara historis ojek mulai di kenal di era tahun 60an, akan tetapi di Yunan Cina dan India ojek yg menggunakan manusia sebagai tenaga penarik gerobaknya masih sering kita jumpai dan usianya sudah ada sejak puluhan tahun silam.
.
Ada pengalaman menarik yg saya alami ketika menggunakan jasa ojek. Mungkin anda pernah mendengar ungkapan "huuu udah hujan, gak ada ojek, becek". Ya ungkapan itu adalah kalam yg terlontar dari artis Cinta Laura yg saya sendiri tidak tau maksud dan tujuanya. Saya sendiri beberapa waktu yg lalu merasakan pesan yg menjengkelkan ketika di antar ojek motor ketika saya turun di stasiun.
Mungkin anda juga pernah merasakan hal yg sama. Bayangkan saja caranya menawarkan sedikit memaksa. Tidak jujur pasti dgn kebohongan, selalu di akhir mengatakan "duuhh kembalianya tidak ada, saya belum narik dan segenap dalih dan alasan lainya".  Dulu tukang ojek sangat menghargai penumpangnya, apalagi jika penumpangnya santri. Tapi kini mereka tidak percaya dengan barokah. Berbeda dgn sikap yg lain, mungkin  disinilah letak kekurangan daya spiritual. Rasa ramah kepada sesama sudah terganti dengan bensin dan jarak tempuh. Bisa di bayangkan pula jarak tempuh stasiun dengan rumah tempat saya tinggal tidak jauh akan tetapi bayaranya begitu melangit. Maka pantas saja mereka kalah saing dengan ojek online yg sudah tersedia harga plus jarak tempuhnya. Di tambah lagi rasa kemanusiaan sudah hilang di makan usia. Namun saya sadar di balik itu mereka harus menghidupi anak istri. Untuk makan untuk biasa sekolah dan sehari2. Tapi apakah tiada cara yg lebih sopan dan ramah kepada pelanggan? Dan inilah mungkin yg di sebut hubungan predasi. Dimana yg kuat tak memandang yg lemah. Dimana ada kijang di situlah macan menerkam. Jika tidak demikian lalu apa yg mau di makan. Makan angin. Tidak mungkin.
.
Akan tetapi pengalaman tersebut tidak semua tukang ojek seperti hal yg saya utarakan di atas. Masih banyak para ojekers yg penuh hikmah dan inspiratif. Seperti dulu ketika saya di Surabaya. Seorang bapak paruh baya menawarkan jasa ojek becak kpd saya dengan ramah, murah senyum dan selalu bershalawat di setiap perjalananya. Beliaupun kadang bercerita tentang pengalaman hidup yg kian hari semakin keras dan pahit. Namun ia selalu menyukurinya. Terbukti ketika saya mau membayarnya beliau berkata "saya mau di bayar sesuai kehendak adik saja, terserah adik kasih saya berapa?" dengan haru saya memberi beliau 3 lembar kertas bergambar Imam Bonjol. Karena bagi saya jarak tempuh yg dekat pas untuk membayar peluh keringat pak becak itu. Dengan pengucap syukur beliau pergi sambil menitipkan doa kepada saya "semoga selalu di berkahi oleh Allah di setiap perjalanan adik". Sayapun mengamininya.
.
Saya cuma berfikir sederhana mungkin inilah yg di sebut pertarungan dan perjuangan hidup melawan dunia yg kering dan kejam. Tapi harapan saya jikalau semua tukang ojek menawarkan jasanya dengan dasar akhlak sufiyyah mungkin yg terjadi adalah kedamaian batin penumpangnya. Atau humoris ala TOP (Tukang Ojek Pengkolan). hehe
#Salam Budaya


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde