Langsung ke konten utama

mBolang ke Pantai Gemah
..
Oleh Woko Utoro

"Memahami manusia dalam konteks nya" begitulah tema seminar yg pernah saya ikuti beberapa waktu lalu. Berkenaan dengan hal itu maka kita di tuntut memiliki pisau analisis dalam memahami keadaan seseorang. Karena memahami adalah salah satu pekerjaan yg tidak hanya membutuhkan ketelitian, melainkan juga membutuhkan observasi langsung dan peninjauan ke dalam. Ternyata pekerjaan memahami orang itu lebih sulit dari pada memahami mata pelajaran. Apalagi memahami orang yg maunya di pahami terus. Dalam istilah remaja kekinian yaitu kepekaan sosial. haha
..
Dari pada kita sibuk mengurusi sesuatu yg membuat diri kita lelah, mending kita mencoba merefresh otak agar menjadi dingin dan sejuk walaupun bersifat sementara.
Kali ini saya bersama Keluarga Horee mengunjungi salah satu pantai yg ada di Tulungagung yaitu pantai gemah. Pantai ini merupakan deretan pantai panjang yg terhampar mulai dari kalidawir sampai dengan besole, bahkan tak ada ujungnya. Pantai yg masih asri, sehingga masih di kelola oleh pengelola pantai terutama mengenai insprastruktur.
..
Jika kita akan menuju pantai ini dapat di pastikan mata kita akan di cuci, karena sepanjang jalan kita akan di manjakan dengan pemandangan perbukitan hijau yg berbaris cantik, di tambah lagi akses jalan yg sudah beraspal makin menambah kenyamanan kita dalam memuju tempat rekreasi ini. Ketika kami sampai di tempat tujuan benar2 langsung menghilangkan penat dan beban yg selama ini menggendong dalam diri. Pantai dengan debur ombak yg damai di tambah lagi deretan cemara menambah ke khasan pantai ini. Namun sedikit di sayangkan pasir putih yg menjadi ciri kasnya tidak dapat kita jumpai disini. Di tambah lagi seperti biasa masalah klasik selalu mengiringi keindahan yaitu, masalah sampah. Sampah menjadi momok utama yg menghiasi pinggir pantai. Disinilah harus adanya kesadaran antara pengelola, nelayan dan umumnya kepada pengunjung.
..
Setelah asyik bercengkrama dengan asinya air laut, main kejar2an, berfoto ria, sampai mengevakuasi bangkai monyet yg mati, kami pun bergegas menuju salah satu warung di pinggir pantai yg menjajakan menu khas pantai yaitu ikat bakar segar plus es degan nya.
Kali pertama bagi saya berwisata kuliner seperti ini apalagi makan ikan tuna bakar dengan di santap beramai-ramai. Wuuiihh menambah keseruan di pantai gemah ini. Hingga tak terasa hari mulai gelap dan kami pun mengakhiri sesi ini dengan mengucap syukur alhamdulillah.
..
Setelah shalat magrib kami pun beranjak menaiki sepeda motor untuk go home. Di sepanjang jalan yg belum terdapat lampu-lampu penerangan jalan kami melaju bersama melawan hujan rintik-runtik membasahi. Walau demikian kami memprediksi bahwa hujan tidak akan merata, ternyata benar untuk wilayah campurdarat dan seterusnya tidak ada hujan sedikitpun.
Sepanjang jalan malam kami pulang dengan suguhan yg indah pula yaitu, deretan lampu kerlap-kerlip yg memancar dari setiap keramba yg ada di laut sangat terlihat jelas dari atas ketinggian jalan berkelok. Dari semua itulah kita hanya mampu bersenandung "subhanallah wal hamdulillah wala illa haillallah allahu akbar". Sungguh indah ciptaanNya, sehingga tak ada hal lain yg kita dapati selain menjaganya dengan bijak.
Salam Lestari..
Selamat merenung..
#Salam budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde