Langsung ke konten utama

Republik Spiritual
..
Oleh Woko utoro

Di tengah2 himpitan zaman yg terus melanda tentunya spiritualitas di perlukan dalam tatanan sosial karena jika di tinjau dari segi tujuan diri ini adalah untuk mengabdi. Indonesia mayoritas beragama Islam namun bukan negara Islam. Atau juga bukan seperti Turki yg hanya di dominasi Islam namun praktiknya ala Baraty. Indonesia lebih dari itu. Pancasila sebagai dasar negara sangat di terima di Indonesia karena mengajarkan nilai keIslaman dan pluralisme. Negara seperti Amerika pun sadar akan pentingnya spiritual namun, mengapa mereka menjauh? karena mereka sudah tercebur dalam dunia Adikuasa teknologi. Yg kuat akan berkuasa. Maka dalam hal ini spiritual di perlukan guna menekan sebuah keserakahan dan ambisiusitas yg tinggi.
Dalam sebuah kesempatan seminar saya menulis beberapa poin terkait dengan spiritualitas yg tetap relevan di tengan pluralisme berbangsa & beragama. Dan betapa pentingnya hal itu.
Pertama, semangat kerja mengabdi kpd Tuhan. Disinilah agama utamanya Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar giat berusaha, setelah usaha baru langkah selanjutnya bertawakal, bukan berpangku tangan apalagi bermalas2an. Sehingga Islam tidak menyukai pekerjaan yg hanya mimpi dan harapan belaka seperti, berjudi (ujug2 pengen cepet kaya). Kedua, negeri ini akan makmur jika tidak mau menerima suap. Hal menerima suap ini sebenarnya lebih kepada mental kita sebagai warga bangsa maka, tak heran jika Indonesia di cap sebagai negeri amplop (suap menyuap) dan terbilang memiliki posisi yg mengkhawatirkan. Ada iklan jin yg "ku beri satu permintaan? monggo" lalu si pria berkata "pingin ganteng" jin pun menjawab "wani piro?". Itulah salah satu praktek mental yg kurang elok, jika kita sadar kita sudah di buai dengan pembodohan publik. Ketiga, polarisasi demokrasi kebablasan. Di Indonesia demokrasi seperti tak terkendali. Jika dulu hak orang2 utamanya Wong alit terbungkan oleh Wong elit tapi sekarang berbalik orang apapun semuanya bisa saling mengawasi, hidup seperti saling mengintai bak musuh di siang hari, rasa sosial sudah terganti dengan rasa maya yg mencekam zaman. Hal inilah yg harus di perhatikan lebih lanjut, harus di kendalikan. Ketiga, etika keimanan. Sekarang bangsa Indonesia sedang mengalami krisis mental keimanan (walaupun tidak semua), orang lebih mengedepankan kulit tinimbang esensi, orang lebih menghargai hasil tinimbang proses, orang lebih mengabdi pada mukhtasor dari pada matan dan syarah nya. Personal kita terkadang tertipu dgn kerja pdhl yg utama adalah ibadah atau paling utama adalah bekerja untuk beribadah kepadaNya.
..
Dari hal yg sudah di sebutkan itu tentunya kita jangan menjadi kaum mutarodidan (plin plan), terkadang seseorang mampu memerintahkan namun ia sendiri tak melakukan, atau ia mengajak orang lain melakukan namun dengan cara di paksa. Padahal pemaksaan itu tidak baik sekalipun untuk hal yg baik. Perlu di ingat bahwa kaidah berdakwah paling minimal adalah tiga kali ajakan selebihnya serahkan pada Allah dan mendoakanya. Atau kita memberi nasehat kepadanya, juga harus memperhatikan "khatibin nass bi qadri uqulihim" bicaralah kpd umat sesuai akal mereka. Karena lain kepala maka lain pula isinya. Harapan besar bahwa di balik kegersangan zaman yg di perbudak oleh berhala teknologi semoga masih ada manusia yg sadar diri akan peranya di muka bumi sebagai apa? sebagai khalifah fil ardy yg berfungsi mengayomi, menebar perdamaian dan saling hormat menghormati. Jika dalam tatanan birokrasi kehidupan hiduplah dengan BSM (Bersih, Sederhana & Mengabdi).
Wallahu 'alam bis showwab..
#Salam_Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde