Langsung ke konten utama

Ooh Masjidku I
..
Oleh Woko Utoro

Pernahkah anda menghitung berapakah masjid atau mushola yg ada di sekitar anda?. Pernahkah menghitung jarak masjid satu dgn masjid yg lainya?. Pernahkah menghitung berapa jumlah jamaahnya?. Pernahkan melihat siapa imamnya? dan lain sebagainya.
Beberapa pertanyaan tersebut memang tidak tabu atau mungkin aneh, namun bagi saya pribadi pertanyaan tersebut bermakna adanya pergeseran nilai yg begitu cepat. Sehingga timbulah beberapa pertanyaan tersebut. Bukan tanpa alasan pula memang, pertanyaan itu hadir seiring dengan zaman yg memang silih berganti. Hehe zaman yg menyedihkan sekaligus menggelitik.
..
Harapan demi harapan saya terus curahkan dengan nama optimisme, namun adakalanya mirisisasi bergelayut juga dengan kondisi yg memang seperti sekarang ini. Menurut beberapa laman yg saya baca, bahwa Indonesia adalah negeri 1000 menara, sehingga ribuan masjid menghiasi jagat yg mayoritas Islam ini. Sehingga dari pernyataan tersebut tergali satu buah pertanyaan. Sampai kapankah masjid akan tetap berdiri tegak, atau bisa makmur? entahlah. semoga saja, illa yaumil qiyamah.
..
Jika sekarang masjid sudah berbeda fungsinya seperti dahulu maka disini kita harus memfungsikan lagi masjid seperti layaknya dulu. Sebenarnya perubahan yg signifikan bukan terjadi karena gaya arsitektur, justru berubah karena peran dan yg memerankanya. Bahkan sekarang masjid semakin bermegah-megahan. Namun fungsi masjid sekarang beralih fungsi menjadi perturutan nafsu dan syahwat, berbicara tentang gemerlapnya dunia bahkan tak sedikit memperturutkan nafsu politik. Bahkan pernah pula terjadi pengeboman yg berlokasi di masjid. Naudzubillah
..
Seharusnya Masjid berfungsi layaknya dulu pada zaman nabi. Salah satu contohnya adalah masjid Quba.
Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah saw. pada tahun 1 Hijriyah atau 622 Masehi di Quba, sekitar 5 km di sebelah tenggara kota Madinah. Dalam Al Qur'an disebutkan bahwa masjid Quba adalah masjid yang dibangun atas dasar takwa (Surat At Taubah:108).(Sumber: Wikipedia.)
Nah jika masjid layaknya berfungsi seperti dulu, pastinya masjid akan makmur.
..
Maka dari itu mari kita mengenal kembali hakikat dan substansi. Agar tak sesat arah. Jika dua hal itu bisa kita maknai dengan baik, pastinya masjid akan berfungsi sebagai mana mestinya seperti; media dakwah, tempat menimba ilmu agama, sarana beribadah, muroqobah, muhasabah dan tempat yg mustajabah. Karena memang hakikat kini semakin menipis dan langka maka dari itu masjid bisa mengingatkan tentang hakikat itu sendiri. Karena sejatinya masjid adalah rumah Allah. 
Kita sama2 berharap semoga dengan adanya wadah berupa ReMas (Remaja Masjid) bisa selalu menjadikan masjid sebagai pelopor lahirnya generasi baru yg mencintai tempat ibadahnya yg juga berlandaskan sikap saling menghormati sesama manusia, terutama dengan pemeluk agama yg lain.
..
Imam Bukhari dan Imam Muslim menyebutkan dalam hadits yaitu seseorang yg hatinya terpaut dengan masjid. Maka seseorang yg demikianlah yg akan dirindukan oleh surga. Mari menjadikan Masjid sebagai Kekasih pujaan. Tempat mencurahkan segala keluh kesah kepada Allah swt.
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde