Langsung ke konten utama
Refleksi 10 November 
..
Oleh Woko Utoro

Sudah 10 november lagi ternyata. Alhamdulillah sekaligus innalillahi adalah dua kata yg senantiasa mengiringi momen itu. Momen yg sangat bersejarah bagi kelangsungan sejarah hidup bangsa Indonesia. Dari hal itu tentunya kita berkaca dan bertanya pada diri, sudah berapa lama kita memperingati momen itu dengan sebuah upacara dan serdadu seremonialnya. Sudah berapa banyak kita mengucapan, "selamat hari pahlawan yachh" atau bahkan para alayers memproklamirkan diri sebagai "pahlawan zaman now". Yang menurut mereka "gue banget". Disinilah titik dimana kita di tuntut untuk berintrospeksi diri. Apakah kita benar2 telah menjadi pahlawan bagi orang lain, atau jangan2 bagi diri sendiri saja masih tak mampu. Marilah berfikir sejenak.
..
Menurut analisis orang awwam seperti saya, kini kebanyakan orang mengartikan istilah pahlawan dengan arti yg sangat sempit sehingga, kepahlawanan itu sendiri terkurung dalam sangkar ke statisan makna. Seperti pengertian di bawah ini. Orang mengartikan pahlawan seperti;
1. Superhero; betmen, supermen, wonderwomen, catmen dan men men yg lain. Padahal tidak hanya itu.
2. Always 10 November. Padahal hari di mana ibu berjuang melahirkan anaknya juga termasuk hari pahlawan.
3.Identik dengan senjata, daya, energi, kekuatan dan sebagainya. Padahal juga bukan melulu seperti itu.
Jika memang hari pahlawan di SK dan di tetapkan 10 November maka lebih spesifik jika tertulis "hari pahlawan Indonesia" hehe
..
Menurut saya pahlawan itu lebih di tujukan pada isim (sifat) bukan fail (pelaku) sehingga arti dari pahlawan itu sendiri akan luas. Maka nantinya sikap kepahlawanan itu akan berarti sebuah ke harusan, menghasilkan tindakan, menjadi fiil (pekerjaan) dan dinamis.
Kita mengenal istilah altruism atau sikap altruistik yaitu, sebuah sikap lebih mementingkan orang lain tinimbang diri sendiri. Karena lebih mementingkan humanism adalah hal yg terbaik dari pada berfikir ke Akuan. Anjing yg kehausan lebih di dahulukan dari pada wudhu kita dan sebagainya. Ego sebisa mungkin di simpan di nomor yg paling ujung. Sehingga berfikir jernih menjadi nomor urut yg pertama.
Ada lagi namanya sikap futuwwah yaitu, sikap kedermawanan dan kekesatriaan spiritual yang memuat pengetahuan tinggi tentang penghambaan, yaitu kedudukan yang pada hakikatnya merupakan kebajikan kepada manusia, tidak pernah menyakiti mereka dan sabar dalam menghadapi gangguan mereka, yang digunakan sebagai penunjang akhlak yang baik dalam bergaul bersama mereka (lihat kitab Madarijus Salikin:Ibnu Qayyim al-Jauziyah). Sikap ini selain berdimensi sosial juga berdimensi religi, keagamaan. Kata futuwwah sendiri berasal dari fata, yang arti dasarnya adalah “pemuda” (syabb) yg mencakup konotasi ‘heroik’ (bersifat kepahlawanan) yang menjadi tak terpisahkan dari istilah futuwwah. Sebagai suatu contoh ialah, memberi maaf kepada musuh, menyembunyikan rasa malu orang di muka umum, tidak menuntut orang lain meminta maaf, rendah hati bukan bukan meninggikan diri dan lainya (Sumber: laman UMY Yogyakarta).
..
Apa yg saya tulis disini adalah bagian dari sebuah opini dan sebuah kata yg terangkai dalam bait yg masih perlu berintrospeksi dan juga mengaca diri dari sebuah kekurangan. Sehingga kita mampu menilai diri apakah kita layak di sebut sebagai seorang pahlawan ketika kita masih menuntut hak yg mana penempuhan kita sebagai diri belum mencapai kebermanfaatan bagi orang lain. Mungkin inilah rahasia hidup yg garus di jalani manusia. Kata Ibnu Qayyim mengatakan "jika kamu ingin melihat sosok yg kamu sebut sebagai pahlawan sejati maka lihatlah junjungan alam kanjeng Nabi Muhammad SAW" beliau adalah manusia paripurna, lengkap dan suri tauladan abadi. Maka dari itu kita patut bersyukur kepada Allah kita dapat di beri pemahaman tentang arti kehidupan kepahlawanan. Entah sebagai suatu sifat atau sikap. Sehingga "siapapun bisa menjadi pahlawan, pahlawan yg tidak harus berbuat sesuatu yang besar, melainkan berbuat dengan hal yg sederhana namun bermanfaat". Inilah yg disebut "prophetik heroes".
Selamat Hari Pahlawan 10 November 2017
#Salam budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde