Langsung ke konten utama

Haul Gus Dur 
..
Oleh Woko Utoro

Alhamdulillah (28/12/17) setelah hampir dua tahun saya menunggu momen ini dan akhirnya tiba juga. Tepat sewindu kepergian sang guru bangsa itu saya berkesempatan menghadiri acara haulnya, sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Karena acara tersebut di hadiri oleh tamu VIP seperti Prof Dr M. Mahfud MD, SH, SU, Dr Rizal Ramli dan Dra Hj Khofifah Indarparawansa (MenSos RI) beserta para masyayikh PonPes Tebuireng termasuk panjenenganipun Dr (Hc) Ir KH Sholahuddin Wahid. Selain tamu tersebut sisi istimewa yg lain ialah dapat bersua teman lama (silaturrahmi) dan dapat mengambil ilmu dari acara haul Gus Dur tersebut, termasuk sowan (menziarahi) makamnya.
..
Dengan di temani teman, kami berangkat dengan penuh keterbatasan. Walau demikian perjalanan ini sangat menyenangkan walaupun kereta yg kami tumpangi mengalami keterlambatan. Hingga sesampainya di Jombang kami pun langsung sholat asyar di masjid Agung Baitul Mukminin Jombang. Setelahnya saya sendiri bingung mau ke arah mana yg tepat dan dengan apa kendaraan yg tepat untuk menuju makam Gus Dur tersebut. Alhamdulillah akhirnya kami di jemput oleh salah seorang teman kami yg berdomisili di Jombang asli. Hingga malampun menyapa dan kamipun mengikuti acara haul dengan khidmat. Acara tersebut bertempat di ndalem samping maqbaroh para ulama tebuireng termasuk Hadratus Syeikh Hasyim Asyari.
..
Jika kita sedikit menganalisis tentunya akses menuju maqbaroh tersebut sudah sangat mudah, bisa dengan ojek, becak atau berjalan kaki. Tentunya sesuai dengan julukanya, jombang sebagai kota santri atau kota beriman memang benar adanya. Kita akan di suguhi masyarakat yg harmoni antara tradisi santri (pesantren) dengan islam kultural yg begitu kental terasa. Sepanjang jalan pasti akan di suguhi pemandangan itu. Apalagi bagi jomblotravellers seperti teman saya, mencari santriwati tebuireng yg agamis manis itu pastinya tak akan kehabisan stoknya, karena jumlahnya ratusan. Alhamdulillah calon istri solihah, ungkap teman saya itu. hehe
..
Clossing dari kehadiran saya di acara haul tersebut tentunya adalah sebuah hikmah. Tentu pelajaran yg dapat saya ambil hikmahnya dari Gus Dur adalah, seorang Demokrasi sejati. Beliau adalah orang yg berjiwa besar (mahatma) kemauanya untuk tidak mau di dikte dan tidak mau tunduk selain kepada konstitusi adalah hal yg besar bagi bangsa ini. Gus Dur adalah orang yg menjadikan hak dasar menjadi hal yg penting, khususnya dalam rangka mengajari bangsa ini arti pentingnya menghormati dan melindungi kaum yg tertindas.
Beliau adalah tokoh pluralisme sungguhan, bukan pura2 pluralis seperti kedok pada banyak orang di zaman sekarang. Kecenderunganya untuk menghormati, menghargai dan toleransi terhadap para pemeluk agama adalah upaya beliau sebagai bangsa yg multikultural, jauh dari stigma pencitraan.
Beliau juga seorang yg humanis, memanusiakan manusia, sehingga manusia mana dan agama apa yg tidak cinta dengan beliau. Bayangkan saja hingga kini para pecintanya tak ada habisnya untuk berziarah atau meneruskan perjuangan dan pemikiranya. Gusdurian begitulah nama para penerus pemikiran Gus Dur ini.
Beliau juga termasuk orang yg religius hal itu terbukti dari riyadloh dan keilmuanya yg tinggi namun rendah hati (baca: apa adanya), sehingga orang menjulukinya bapak bangsa, seorang kyai, politikus, dan sebagai santri yg ta'dhim kepada para guru2nya. Walaupun beliau banyak yg mencaci maki tapi beliau selalu tunjukan dengan gaya humor yg cerdas yg mana hal itu menjadikanya sejuk di pandang orang, bukan kaku dan memaksakan kehendak.
..
Setelah acara haul usai kami berkesempatan untuk main ke rumah teman kami yg kebetulan tidak jauh dari makam. Tak lupa pula santap siang sembari bercerita seputar jombang menjadi bumbu khas yg akan kami bawa pulang untuk menjadi cerita yg menarik, termasuk peninggalan & pesan2 Gus Dur.
Benar kata pujangga bahwa peninggalan dari sebuah pemakaman adalah sebuah taburan bunga yg sementara, sedangkan sosok yg baik akan selalu terkenang selamanya. Itulah beliau al Maghfurllah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
..
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde