Patriotis dari Pesantren
Oleh Woko Utoro
ياَ لَلْوَطَنْ ياَ لَلْوَطَن ياَ لَلْوَطَنْ
حُبُّ الْوَطَنْ مِنَ اْلإِيمَانْ
وَلاَتَكُنْ مِنَ الْحِرْماَنْ
اِنْهَضوُا أَهْلَ الْوَطَنْ
اِندُونيْسِياَ بِلاَدى
أَنْتَ عُنْواَنُ الْفَخَاماَ
كُلُّ مَنْ يَأْتِيْكَ يَوْماَ
طَامِحاً يَلْقَ حِماَمًا ( قضاء الموت وقدره)
Pusaka Hati Wahai Tanah Airku
Cintaku dalam Imanku
Jangan Halangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku
Pusaka Hati Wahai Tanah Airku
Cintaku dalam Imanku
Jangan Halangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku
Indonesia Negriku
Engkau Panji Martabatku
Siapa Datang Mengancammu
Kan Binasa di bawah durimu
*(nu.id)
Pusaka Hati Wahai Tanah Airku
Cintaku dalam Imanku
Jangan Halangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku
Pusaka Hati Wahai Tanah Airku
Cintaku dalam Imanku
Jangan Halangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku
Indonesia Negriku
Engkau Panji Martabatku
Siapa Datang Mengancammu
Kan Binasa di bawah durimu
*(nu.id)
Lagu Subbanul Wathan buah karya KH. Abdul Wahab Chasbullah (1934) yg di Ijazahkan ke KH. Maemun Zubair tahun 2012 itu merupakan lagu yg amat populer di tahun2 setelah di ijazahkannya. Lagu tersebut sangat populer khususnya di lingkungan warga Nahdliyin. Saya sendiri belum tahu apakah ada di luar nahdliyin yg menyanyikan lagu yg berisi semangat nasionalisme itu.
Lagu tersebut kini menjadi sebuah lagu semangat, dan juga menjadi lagu pendamping dari lagu kebangsaan Indonesia raya. Sungguh sangat dalam sekali makna yg tersirat dalam lagu tersebut. Sehingga kesimpulan terbesar bahwa kalangan ulama, santri, pesantren dan umunya para pejuang dan kaum tradisional benar2 telah menjadi bagian dalam merengkuh kerasnya kemerdekaan dan pastinya hingga mempertahankanya hingga darah dan nyawa menjadi taruhanya. Walaupun jasa besar mereka telah di kubur dalam2 dan tidak boleh di upayakan untuk di gali kembali. Dan disinilah terkadang kita merasa pilu, betapa salah satu bangsa yg benar2 nyata telah mengorbankan jiwa raga namun harus rela di singkirkan jauh2 dari peta peradaban oleh sebagian orang yg memang tidak mau mengakui keberadaanya. Tapi biarlah itu menjadi keharusan sejarah, kini lebih baik kita berfikir kedepan bagaimana cara semangat patriotis ala pahlawan harus tetap lestari dan harus di garda paling depan. Walaupun memang kita tidak sedang melawan musuh seperti layaknya dulu, tapi musuh yg lebih ganas lagi yaitu media sosial.
NU dan pesantren tidak bisa di pisahkan peranya dalam membangun negri ini. Karena memang NU sendiri terlahir dari pesantren. Secara umum NU mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah organisasi yg berdasarkan kepada Pancasila. Dan itu final. Pernyataan tersebut di sampaikan pada muktamar ke-27 di Situbondo oleh KH Ahmad Siddiq. Jika era sekarang pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa yg di bangun bersama dan sampai ada yg mengusiknya maka, NU lah yg pertama akan menghadangnya.
Mbah Muchit Muzadi dawuh bahwa pesantren adalah sebuah konservatorium pembinaan akhlak, pendidikan dan semangat nasionalisme. Sehingga dalam hal ini Gus Mus pun sepakat bahwa wajar saja jika NU di garda paling depan dalam mengawal NKRI, karena memang NKRI adalah rumahnya sendiri. Kita bukan muslim yg kebetulan tinggal di Indonesia, melainkan kitalah penghuninya. Dan yg patut di garis bawahi adalah tetap, tindaklah sesuatu itu dengan penuh kesantunan. Cirikanlah kita sebagai Islam yg ramah, bukan Islam pemarah. Juga tak kalah pentingnya yaitu jauhkanlah diri kita dari sikap egosentris dan etnosentris.
Mari sama2 berkaca. Bertindak bersama dan berfikir terlebih dahulu sebelum bertindak. Mengajak kebaikan itu baik tapi memaksa kebaikan itu tidak baik, dawuh Gus Mus.
Semoga tidak hanya NU saja, tapi kalangan yg lainpun mari bersama2 membangun NKRI yg sudah di warisi oleh para pendahulu kita, kita kuatkan lagi nilai kemanusiaan menuju nilai ketuhanan. Semakin berbeda kita maka semakin terlihatlah sisi persamaan kita. Maka dari itu dari pada kita sibut memikirkan perbedaan lebih baik bagaimana berfikir untuk terus berkarya bersama. Saya jadi ingat pesan sang Begawan Fiqih Indonesia, KH MA Sahal Mahfudz beliau dawuh
"Menjadi baik itu mudah dengan hanya diam maka yg tampak adalah kebaikan, dan menjadi bermanfaat itu sulit karena hal ini butuh perjuangan".
Mari berjuang bersama-sama dalam bhinneka. Dari pesantren untuk negeri.
Mari sama2 berkaca. Bertindak bersama dan berfikir terlebih dahulu sebelum bertindak. Mengajak kebaikan itu baik tapi memaksa kebaikan itu tidak baik, dawuh Gus Mus.
Semoga tidak hanya NU saja, tapi kalangan yg lainpun mari bersama2 membangun NKRI yg sudah di warisi oleh para pendahulu kita, kita kuatkan lagi nilai kemanusiaan menuju nilai ketuhanan. Semakin berbeda kita maka semakin terlihatlah sisi persamaan kita. Maka dari itu dari pada kita sibut memikirkan perbedaan lebih baik bagaimana berfikir untuk terus berkarya bersama. Saya jadi ingat pesan sang Begawan Fiqih Indonesia, KH MA Sahal Mahfudz beliau dawuh
"Menjadi baik itu mudah dengan hanya diam maka yg tampak adalah kebaikan, dan menjadi bermanfaat itu sulit karena hal ini butuh perjuangan".
Mari berjuang bersama-sama dalam bhinneka. Dari pesantren untuk negeri.
Komentar
Posting Komentar