Langsung ke konten utama
Basa Ngapak IV
..
Oleh Woko Utoro

Sudah di sampaikan kemarin bahwa Indramayu adalah salah satu kabupaten di jawa barat yg tidak menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa keseharianya justru, dengan bahasa ngapak. Akan tetapi ada salah satu desa dan kecamatanya yg menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa sehari-hari. Disisi lain dalam bahasa ngapak tetap saja ada salah satu kata dalam pelafalan bahasanya yg sudah bersinkretis dengan budaya bahasa sunda.
..
Indramayu memiliki dua zona sebagai distrik paling sibuk dan sebagai pusat perekonomian masyarakat. Dua zona itu ialah kecamatan Jatibarang (mewakili wilayah timur) dan kecamatan Haurgeulis (mewakili wilayah barat). Tidak terpungkiri bahwa dua wilayah ini menjadi pusat perekonomian dan keramaian maayarakat karena, keduanya terdapat stasiun kereta api dan pasar rakyat sehingga, masyarakat berlalu lalang dan menggantungkan hidupnya dengan berdagang dan menjual jasa seperti, ojek dan sebagainya di tempat itu.
..
Dalam analisis bahasa ngapak di daerah tertentu mengalami keunikan tersendiri disini karena, salah satu faktornya adalah bersinggunganya daerah satu dengan daerah yg lainya. Terkhusus budaya Dermayon dan budaya sunda. Jika Banyumas menyebut diri wong panginyongan maka indramayu biasa di kenal dengan "wong reang", atau lebih dekat dengan cirebon ialah "wong isun". Kedua istilah tersebut memiliki arti yg sama yaitu "orang sendiri". Sebenarnya istilah kata ganti saya dalam bahasa indramayu "Nyong (saya)" juga ada. Bahkan lebih banyak lagi.
..
Jika kita menilik sejarah ada daerah yg tidak sesuai dengan bahasa yg di gunakan serta bersinggungan dengan nilai historis kultural. Haurgeulis (Regolis/argolis, dlm bhs ngapaknya) misalnya, daerah ini jika terdengar seperti nama dlm term bahasa Sunda yg berarti Haur (bambu) dan Geulis (cantik), jika dlm bhs dermayu di baca "gelis" yang berarti "cepat". Haurgeulis sendiri dalam bahasa keseharianya menggunakan bahasa jawa ngapak, tidak menggunakan bahasa Sunda seperti namanya. Ada juga sebagian menggunakan bahasa jawa wetanan (di sebarkan para Kyai yg berasal dari Blitar, kediri dan sekitarnya). Bahkan hanya sebagian saja yg menggunakan bahasa sunda yaitu daerah Haurkolot (desa sebelah timur Haurgeulis), justru yg berbahasa sunda malah daerah kecamatan Gantar.
..
Pengaruh daerah perbatasan sekitarpun sangat terasa dlm pengunaan bahasa keseharian seperti, bahasa ngapak Haurgeulis terpengaruhi dari desa Salamdarma kec. Anjatan dan Pegaden perbatasan Kali Cipunegara. Daerah Gantar terpengaruhi dari bahasa Sunda perbatasan desa Sanca dan Buahdua/Conggeang kabupaten Sumedang. Gantar sendiri berarti "galah" orang jawa timur menyebutnya "genter". Untuk bahasa ngapak sendiri desa Gantar terpengaruhi dari desa Sukaslamet dan Temiyangsari.
Disinilah hal unik terjadi yaitu di daerah Gantar malah penggunaan bahasanya lebih bervariatif ada Sunda, ngapak dan betawi.
..
Soal budaya pun daerah yg bersinggungan itu menghasilkan akulturasi yg harmoni seperti, kesenian Sisingaan dari daerah Subang di padukan dengan musik dangdut khas dermayon (tarling pantura) maka menghasilkan seni singa dangdut. Kesenian ini berkembang di daerah Bongas, Anjatan sampai Losarang. Kesenian sandiwara, adem ayem, topeng dermayon, dan sintren dalam pementasanya pun menggunakan bahasa ngapak.
Sebenarnya jika kita melek sejarah dan mau menggalinya tidak mustahil peradaban di daerah terpencil seperti di desa anda pun akan menghasilkan informasi yg luarbiasa. Dan hal itu akan bernilai historis estetis, juga salah satu faktor penyangga peradaban. Tinggal kita sebagai generasi penerus akan (melestarikan), merasa bangga atau cukup sampai disini saja.
Selamat menggali...dan merenung..
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde