Langsung ke konten utama

Ooh Masjidku II
..
Oleh Woko Utoro

Berbicara tentang hakikat dan substansi tentunya membutuhkan modal dasar yg kuat, utamanya soal pemenuhan syariat dan moralitas. Jika hal2 yg demikian terus di pelajari, bukan sebuah kemustahilan seseorang dapat menghayati perannya dalam kehidupan ini.
..
Karena kehidupan ini bersifat luas maka, kita mengenal istilah makrokosmos. Dimana hal itu bisa kita ketahui maksudnya dengan penghayatan batin yg tajam. Dalam hal inilah kaum sufi berkelana menemui jatidirinya.
Dalam bangunan masjid pun ternyata kita dapat mengambil makna filosofinya. Mungkin anda juga sangat sering melihat bangunan (arsitektur) masjid yg unik bahkan tak jarang kontroversional. Sehingga jika kita ketahui lebih jauh sebenarnya ada makna tertentu yg terkandung di dalamnya. Tentu makna yg lebih tau adalah sang arsitek itu sendiri.
..
Dalam Buku Menggali nilai2 spiritual dari bangunan masjid, Dr H Abdul Muhaya dari UIN Walisongo Semarang mengungkapkan bahwa ada tiga tingkatan yg dapat kita ambil ibrah dari bentuk bangunan masjid. Pertama, Kamandhatu ialah tingkatan dasar atau bagian paling bawah yang merupakan perlambang hawa nafsu, alam tempat bersemayamnya kesenangan duniawi, alam para manusia yang prilakunya masih diikat hawa nafsu. Kedua, Rupadhatu yaitu bermakna alam dimana hawa nafsu dan keinginan yang bersifat duniawi sudah terbebas dari diri manusia dan juga tidak lagi diikat karma namun masih diikat oleh bentuk bentuk fisik atau rupa dalam arti manusia masih memandang sebatas pada dunia wujud atau dunia nyata. Ketiga, Arupadhatu ialah alam yang sudah terbebas dari hawa nafsu, masalah masalah duniawi dan juga tidak terikat pada karma, pada wujud (tidak berwujud) atau rupa (tidak berupa). Arupadhatu disebut juga alamnya para dewa. Tiga hal itu merupakan perspektif dari ajaran hindu dan budha, yg tentunya islam tidak mengenal apa itu karma. Jika dalam Islam lebih dari itu, yaitu tingkatan syariat, thariqat, hakiqat dan ma'rifat. Yang mana semuanya memiliki tingkatanya masing2. Darinya kita baru menganalisis dari segi arsitektur bangunanya, belum lagi ada corak, warna, desain mihrab, kubah, kalighrafi dan lain sebagainya yg begitu banyak dan luas. Mungkin gaya masjid tersebut bisa kita temui di Masjid Turen Malang, Masjid Agung Demak, Masjid Tiban Tulungagung dan lain sebagainya.
..
Selain dari bentuk bangunan terkadang Allah memberikan bentuk kebesaranya melalui masjid. Salah satu contohnya adalah masjid Baiturrahman di Banda Aceh yg menjadi saksi dan satu2nya bangunan yg berdiri tegak di tengah terjangan dahsyatnya Tsunami aceh pada 2004 silam. Ada juga Masjid di situ gintung yg di terjang air bah dari atas waduk situ gintung yg tanggulnya jebol, dan semuanya tidak apa2. Inilah yg di sebut kebesaran Allah khusus bagi orang2 yg mau berfikir. Dari ilustrasi tersebut bukan menjadi sumber mistik melainkan sumber untuk memperkaya diri dengan keimanan.
..
Semoga masjid tidak menjelma menjadi hutan belantara yg mengerikan, rumah angker yg menakutkan atau bahkan pasar yg penuh keramaian. Bukan ramai dengan jamaah tapi ramai dari rel kemaksiatan. Ghibah, namimah dari masjid masih saja terjadi. Bahkan ada yg berbuat tidak rasional yaitu ngebom di masjidnya sendiri. Naudzubillah. Semoga hal itu tidak terjadi lagi. Semoga manusia semakin sadar siapa dirinya.
Jika manusia sudah sadar harapan besar kita bisa menjadikan masjid bisa menjadi lumbung
ilmu dan peribadatan dan kemaslahatan umat. Sarana introspeksi diri menuju fastabiqul khairat.
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde