Langsung ke konten utama

Belajar Lewat Ekspresi
..
Oleh Woko Utoro

Saya sangat senang ketika banyak dari teman saya memunculkan ekspresi bahagia. walaupun kebahagiaan itu subjektif. saya merasa bahwa walaupun hny sebuah ekspresi hal itu menjadi penting dari pada mengurung diri, bertutur sendiri, sering menangisi, atau bahkan gantung diri. Maka dari hal itu berarti yg mampu orang pahami terhadap sesuatu itu adalah ekspresi dan simbol. keberadaan kebahagiaan tersebut walaupun hanya bersifat visualisasi gambar, namun dari hal itu kita dapat menerka bahwa gambar tersebut menjadi perwakilan diri terkait keadaanya sekarang.
..
Hal yg terpenting dari sebuah ekspresi bahagia adalah kebutuhan akan keberlangsungan. artinya tidak penting seberapa banyak temanmu dan ekspresi yg telah di abdikan dlm sebuah foto lengkap dengam caption "best friend forever", " i proud" dan sbgnya. Yg paling penting adalah sepanjang masa. Bukankah ada orang yg memiliki banyak teman tapi, hanya bersifat sepanjang jalan. Ia kenal lalu menyapa. Dan cukup. Jika saatnya berpisah pasti akan lupa dan entah apakah ekspresi bahagia tersebut tetap ada atau bahkan hilang dimakan usia.
..
Jika kita melihat ekspresi para tokoh besar, mereka benar2 telah mengubah keadaan hny dengan ekspresi. Dalam kajian psikologi banyak sekali ekspresi yg dapat di amati melalui pendekatan metode ilmu seperti, membaca kepribadian lewat ekspresi wajah atau bahkan melalui tulisanya (grafologi).
Mari kita lihat ekspresi presiden RI pertama, Ir Soekarno beliau adalah sosok yg tegas dan menggemparkan sehingga dlm kaitanya ekspresi, beliau adalah simbol semangat nasionalisme. Sehingga tak jarang ekspresi beliau selalu menghentakan nurani kaum muda yg berapi-api. Ada juga ekspresi persahabatan elit ala KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dan Prof Quraish Shihab (Pengarang Tafsir Al Misbah). Mereka bersahabat sejak di al Azhar Kairo mungkin jika dari dulu hingga kini persahabatan mereka telah berlangsung 50 tahun lebih. Dari hal itu mereka tetap menyejukan ummat walaupun ekspresi perbedaan antara keduanya sering muncul. Kata Prof Quraish "sebenarnya Tuhan menciptakan kita itu memang untuk berbeda" dalam artian berbeda untuk saling berekspresi dan mengisi kekurangan. Jika menurut Gus Mus sendiri "sebenarnya perbedaan itu tidak ada jika kita sudah tahu ilmunya" artinya segala macam bentuk ekspresi keberagamaan atau moralitas apapun akan mudah di sikapi dengan ilmu, maka jika ada sesuatu (orang) yg berbeda trus langsung di tanggapi secara emosional maka orang tersebut termasuk orang yg kurang berilmu. Dengan ilmulah salah satu hal yg membuat kita bisa menilai sejauh mana orang dapat merespon ekspresinya dan ekspresi orang lain. Maka ekspresi maya hanya emoticon, sehingga lebih asyik adalah ekspresi nyata. Tidak bisa di wakili kecuali kita sendiri.
..
Yg saya amati, ternyata dunia ini banyak mengandung ekspresi seperti ekspresi etos kerja, motivasi tinggi, pantang menyerah. Ekspresi dunia cenderung ke arah ekspresi positif. Jika negatif lebih kepada mahluk yg mendiaminya, utamanya manusia. Hukum kausalitaspun berlaku disini seperti, jika terjadi banjir, seseorang cenderung menyalahkan alam bukan menyalahkan penyebab alam itu rusak. Ekspresi dunia di cipta bukan dari "sim salabim..jadi apa " tapi ekspresi dunia di cipta dengan rasa dan usaha. Tidak ada yg instan dlm hidup ini. Semua butuh proses.
Maka belajar berekspresi layaknya sejatinya manusia adalah hal yg di haruskan bukan malah pencitraan. Termasuk ekspresi keberagamaan pula semua berpangkal pada humanism religous. Artinya selalu mempertimbangkan hak Tuhan dan hak manusia.
..
Semua dari apa yg telah paparkan di atas bukan merupakan tujuan apapun kecuali sebuah upaya agar manusia menjadi tersadar bahwa hidup ini penuh dengan hakikat dan filosofi. Berekspresilah ke arah kesejukan. Karena kesejukan di butuhkan ketika panas menyerang. Dan sejatinya yang abadi hanya sang pemilik keabadian itu sendiri yaitu Gusti Allah swt.
"Berekspresi itu baik tapi, jika berlebihan itu tidak baik".
#Salam Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde