Langsung ke konten utama

Ziarah Waliyullah IV (habis)
..
Oleh Woko Utoro

Masih tentang ziarah. Sebenarnya jika kita mencoba menggali nilai2 dalam ziarah tentunya akan membutuhkan waktu yg sangat panjang di tambah lagi jika di tuliskan dalam lembaran kertas mungkin saja bisa menghasilkan berjilid2 halaman. Memang sampai kapanpun fenomena ziarah yg unik ini akan tetap menghasilkan cerita tersendiri. Dan perlu di ingat walaupun di negara lain ada juga ziarah tapi ke khasanya tidak ada yg seunik milik Indonesia.
..
Salah satu film besutan sutradara BW Purba mungkin bisa menjadi tontonan yg dapat membuat kita belajar akan arti penting ziarah. Film itu berjudul "Ziarah". Film itu menggambarkan akan membuat penonton tenggelam dalam cerita perjuangan masa lalu, kita juga diajarkan bagaimana pentingnya berdamai dengan masa lalu.
Lewat perjalanan Mbah Sri (ponco sutiyem) mencari makam sang suami yang tak tahu di mana, kita juga akan diajarkan hakikat pasrah kepada gusti Allah swt. Selamat menonton.
..
Jika kita ketahui pula bahwa kebanyakan para peziarah itu adalah ibu2 dan tujuan ziarahnya kepada para auliya yg kebanyakan partriarki. Baru2 ini saja ada makam auliya perempuan di Pulau Bali. Namun antusisme dari para peziarah masih tetap tak terbantahkan. Seperti tak pernah sepi dari animonya. Begitulah masyarakat kultural.
..
Jika kita ketahui pula di sepanjang jalan menuju makam banyak sekali para pengemis yg mengais rejekinya di sana. Hal itu menggambarkan pada kita arti akan sebuah usaha atau hal itu merupakan praktek kemalasan. Sekarang tinggal bagaimana penilaian kita saja. Memberi lebih utama dari pada mencela. Makam para auliya telah menjadi bukti akan ladang usaha masyarakat sekitar. Dengan adanya makam auliya masyarakat menjadi terbantu perekonomianya dengan berjualan aksesories dan makanan. Hal itu terbukti ketika seseorang membawa jenang, dodol, kurma buah2 bisa jadi itu oleh2 khas ziarah. hehe. Allah itu maha adil.
..
Ada satu hal yg harus kita ketahui bahwa, ada perbedaan antara ulama/kiai dengan para intelektual. jika para intelektual mencoba menjelaskan sesuatu dengan bahasa melangit dan sulit di pahami sedangkan para ulama/kiai menjelaskan sesuatu yg rumit dengan membumi dan mudah di mengerti. Sehingga wajar jika kalangan ulama/kiai ketika wafat lebih di hormati dari pada kalangan akademisi. Para waliyullah yg di sebut ahlul karomah telah membuktikan diri bahwa hidup berarti di masyarakat. Walaupun ilmu yg kita peroleh sedikit. Layaknya orang botak, ia adalah simbol pemimpin yg rendah hati, tidak mau menampakan kedudukanya. Hanya kepada Allah lah ia mengabdi. Jika ada orang yg berani merusak rumah para Waliyullah maka masyarakat dan para SARKUB akan menjadi garda terdepan mengawal semua itu.
اَلَّلهُمّ لاَتَحْرِمْنا أَجْرَهُ وَلاَتَفْتِِنَّا بَعْدَهُ
(Ya Allah, janganlah Engkau haramkan Kami dari pahalanya, dan janganlah Engkau beri fitnah pada kami setelah kematiannya).
"Gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang dan para waliyullah wafat meninggalkan harta yg berharga (ilmu dan ladang penghidupan)". Kita mati membawa...?
Selamat merenung...
#Salam budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde