Langsung ke konten utama
Menyisipkan Nilai-Nilai Tasawuf dalam Sendi-Sendi Kehidupan
Oleh: Woko Utoro
*Disampaikan pada malam minggu, 3 Februari 2018 dalam kajian diskusi anak kampoeng (dari kampung untuk negeri).
Membaca tasawuf berarti membaca sebuah cakrawala dunia yang maha luas. Jika di gali dari keilmuan tasawuf tentunya tidak akan pernah ada habisnya. Keilmuan tasawuf telah merasuk kepada sisi yang lebih luas, universal dan menyeluruh dalam setiap sendi kehidupan, itupun jika manusia berada pada titik sadarnya. Namun, mayoritas buta dan di butakan, persis H Rhoma Irama dalam syirnya “yang buta..yang buta mata hatinya..” Masyaallah. Terlalu.
Sebenarnya jika manusia bisa mengetahui ilmu ini lebih dalam tentunya akan dapat banyak hal yang ia dapat ketahui, bahkan sampai pada ketidaktahuan itu sendiri. Terlepas dari pro dan kontranya tasawuf sebagai ilmu atau bukan, maupun sebuah upaya pelemahan bahwa ajaranya di adopsi dari sumber agama lain di luar agama Islam. Akan tetapi tetap saja, ilmu ini tidak pernah kehilangan para penimbanya, hal itu terbukti bahwa ilmu ini masih setia di dalam hati seorang pencari sejati. Dan merupakan sebuah kajian sah ilmu pengetahuan, walaupun memang masih lemah dalam hal epistemologinya. Walau demikian kita harus bisa mempromosikan ajaran yang terkandung di dalamnya yang tentunya menyejukan.
Saya tidak akan membahas hal itu dalam tulisan ini. Saya hanya mencoba memformulasikan nilai-nilai tasawuf yang sebenarnya bisa merasuk pada sendi-sendi kehidupan yang kian hari kian mengalami osteoporosis, akibat syahwat birahi dunia, dan gemerlapnya zaman. Yang menurut Pujangga Ronggowarsito adalah “zaman edan”. Saya akan membahas sedikit bahwa nilai tasawuf dapat merasuk sebagai penghantar kehidupan ini. Sektor tersebut yaitu, teologis, ekonomi, sosial & pemerintahan serta lingkungan sekitar.
Pertama, akhir-akhir ini persoalan keagamaan kembali mencuat, akibat sebuah coletah yang tidak pada tempatnya. Memang sumber dari segala sumber permasalahan yang ada di dunia ini adalah kefaqiran, keterbelakangan, dan tentunya tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Istilah takfiri adalah persoalan terkait teologis atau aqidah, sehingga persoalan ini begitu urgent supaya di perhatikan oleh siapa saja utamanya para agamawan. Dari peristiwa tersebutlah peran tasawuf sebagi sebuah poros bisa dapat meredamnya dengan upaya moderasi jalan fikiran menuju akhlak yang mulia. Pemenuhan antara syariat dan hakikat menjadi hal yang utama. Dan lagi-lagi ini adalah persoalan keilmuan seseorang atau sekelompok orang serta perbedaan multitafsir. Saling menghargai adalah salah satu langkah awal dari pada saling menjatuhkan. Semakin tinggi ilmu seseorang maka semakin merunduklah ia (rendah hati). Maka tak pantaslah jiwa ini sombong, karena kita hanya mahluk yang teramat kecil di mataNya.
Kedua, kata orang jawa kebahagiaan itu "naliko aku wes dadi wong" artinya jika seseorang sudah mampu membeli segalanya yang ia inginkan atau ketika aku sudah kaya, itulah bahagia. Maksimal kebahagiaan itu bisa di beli. Salah satu yg dapat membeli kebahagiaan adalah dengan cara berbisnis atau pemenuhan ekonomi. Bisnis adalah salah satu hal yg dapat menghasilkan keuntungan. Barat memiliki konsep "memiliki modal kecil berharap untung besar". Disinilah letak kesalahan para saudagar ketika menjalankan bisnisnya mereka terlena dengan dunia, mengejar profit yg tinggi, tidak memiliki kepuasan, menghalalkan segala cara, saling ejek, menipu, mengurangi timbangan, menimbun dagangan, praktik riba dan sebagainya. Padahal pepatah jawa memberi pesan agar mencari harta dunia itu sakmadya (seperlunya) saja. 
Jika mengambil inspirasi dari tasawuf maka kita kenal istilah spiritual preneur. Spiritual preneur sendiri bertujuan untuk berupaya agar manusia tersadar bahwa antar kebutuhan dan kepentingan harus di seimbangkan. Antara relasi dunia akhirat harus di seimbangkan. Karena dunia adalah tempat menanam sedangkan di akhirat adalah tempat memanen. Hidup tidak selalu melulu berorientasi pada uang dan keuntunganya tapi hidup kadang harus mengerti mana kewajiban dan mana arti dari rasa saling berbagi.
Kita dapat mengambil inspirasi dari sang inspirator agung Kanjeng Nabi Muhammad saw ketika beliau menjadi pedagang yang menjajakan daganganya ke Syam dan menjajakan dagangan milik Sayyidah Khadijah binti Khuwailid dimana beliau merupakan sosok niagawan yang sangat jujur dalam berdagang sehingga disinilah titik temu dengan istilah spiritual preneur dan prophetic preneurship (bisnis ala kenabian). Intinya spiritual preneur ialah mengajak kepada para pengusaha untuk menjadi pebisnis yang berlandaskan nafas relijius dari sifat kenabian yang penuh dengan etika.  Dalam buku "Wong Sugih Mati Keluwen" Gesta Bayuadhy menuliskan pesan orang jawa kepada kita semua agar terus belajar "Aja dumeh lagi sugih, seneng ngremehke liyan" artinya jangan sombong ketika kita jadi orang kaya dan merendahkan orang lain. "Tetep eling lan waspada, sing waras ngalah becik ketitik ala ketara sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti". Kita harus ingat Gusti Allah dan tetap waspada serta upaya jahat apapun yg kamu lakukan pada akhirnya akan terkalahkan pula dengan kebaikan. Jika hal kebaikan tersebut tidak mampu di wujudkan berarti inilah yang di sebut zaman edan dan hal itu merupakan puncak dari ironi zaman. Yang kaya makin kaya yg miskin makin miskin (the rich richer the poor poorer). Jadilah pebisnis yg memiliki nilai keimanan.

Ketiga, sosial & pemerintahan menjadi sorotan yang sama pentingnya. Bagaimana tidak, pergeseran nilai, perubahan tata laku, degradasi moralitas dan hal apapun yang ada di sekitar kita sudah mengalami revolusi yang begitu cepat. Begitu mencapai puncak dan sampai pada tapal batasnya. Sehingga rasanya miris ketika kita mendengarnya. Dunia serasa gersang, dan tandus, yang mana seperti merindukan guyuran hujan rahmat. Istilah dunia terbalik bukan seperti hal yang aneh lagi, melainkan seperti akan segera mendarah daging. Kasus korupsi dimana-mana, kriminalitas makin sulit diretas, segala penyakit merajalela, seorang anak tanpa ayah seperti hal yang lumrah. Entah siapa yang harus bertanggung jawab disini. Mungkinkah nilai-nilai tasawuf yang jika dapat merasuk pada bagian ini dapat meredam hal itu semua? Saya optimis bisa, karena hidup adalah sejauh mana kita menghargai dan menguatkan niat. Bukankah kejahatan kerah apapun terjadi karena niat yang kuat dari pelakunya. Namun percayalah jika akhlak tasawuf sudah merasuk pada diri seorang hamba. Pasti ketika mereka akan berbuat sesuatu, minimal mereka akan berhenti sejenak, berfikir dan merenung, bahwa suatu hari nanti aka ada pengadilan Allah yang maha adil.
Keempat, Alam adalah tempat kita berpijak di bumi, darinya sejuta manfaat yang kita peroleh. Alam adalah perantara Tuhan di muka bumi yg akan memberikan kebutuhan bagi mahluk di dalamnya. Namun jika alam sudah tak bersahabat lagi dengan manusia tiba saatnya "fanta dirruss sa'ah". "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [QS. Ar-Ruum/30: 41]. Dari ayat tersebutlah manusia harus lebih banyak berintrospeksi diri karena alam adalah amanah dari Tuhan.
Tentang alam sekitar maka kita mengenal istilah ekosufisme. ekosufisme ialah faham yang sama dengan hablumminal alam. Disinilah perlunya guruloka (kesadaran) dari masyarakat betapa pentingnya mencintai lingkungnya. Supaya alam ini tidak menimbulkan bencana. Sehingga alam dan manusia saling berharmonisasi menimbulkan simbiosis mutualisme, menuju illahirobbi.
Semoga tulisan ini membawa manfaat bagi kita semua. Inti tulisan dari awal hingga akhir adalah mengingatkan kita kepada kemana kita akan kembali. Dalam hal ini sama seperti tujuan hidup dalam perspektif orang jawa yaitu yg termaktub dalam Suluk Linglung Kanjeng Sunan Kalijaga Saya cuplik sedikit kutipanya: “Yen tanana sira iku, ingsun tanana ngarani, mung sira ngarani, ing wang dene tunggal lan sireki iya Ingsung iya sira, aranira aran mami”. Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya Dzatku. Dan itulah yg di sebut orang jawa sebagai Sangkan Paraning Dumadi. Kemana arah tujuan hidup yg sebenarnya, selain menuju yg sejati. Sungguh makna yang sangat luhur dan dalam jika kita resapi. Dan inilah pepeling sejati. Semoga bermanfaat!

#Dari kampung untuk negeri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde