Langsung ke konten utama
Fajrul Ummah Mengguncang Arsy
..
Bang Woks
Malam kemarin (9-9-17) adalah malam yg indah, begitulah kira-kira bunyi kalimat yg terngiang dalam benak setiap orang yg menyaksikan sebuah tampilan dalam acara malam inagurasi. Dalam acara malam inagurasi itu Dema FUAD di beri kesempatan untuk menampilkan performnya, hingga salah seorang pengurus menyempatkan diri untuk grup sholawat Fajrul Ummah (FU) berkenan mewakili dema untuk tampil.
..
Semua serba pertama. Maba yg baru masuk FU, lalu latihan, dan malamnya langsung tampil, sungguh waktu yg sangat singkat akan tetapi, sungguh di luar dugaan semua berjalan mulus dan lancar.
Pertama kali di buka dengan salam, hujanpun langsung turun mebasahi bumi. Seolah arsy bergoncang karena ada pancaran sholawat di bumi. hehe
Maklum saja sang vocalis adalah mahapatni gayatri dari plosokandang yg suaranya menggetarkan sampai ke ulu hati. Di tambah lagi bunyi calti, tam, bas dan tentunya terbang membuat gurih di telinga pendengarnya.
..
Dengan hujan yg terus mengguyur namun, rangkaian dalam senandung sholawat terus menggema sehingga pak Rektorpun tak luput dari ikut menyemarakan malam dengan menggerakan tanganya tanda menyukai suasana. Memang sih sebuah sholawat itu bukan tontonan apalagi hiburan, sholawat itu adalah sebuah tuntunan. Nah tuntunan itu di balut dengan kesenian bernama musik hadrah bersama dengan seperangkat alat terbanganya, sehingga membuat siapa saja yg mendengar membuat terpana dan pastinya akan ikut bersholawat bersama. Apalagi ketika penampilan terakhir, FU menyuguhkan syair Subbnanul Wathan , huuu semua orang berdiri dan mengepalkan tanganya.
..
Sekitar 4000 pasang mata membanjiri suasana malam itu. Walaupun dengan tampilan yg masih banyak kekurangan tapi saya bangga bisa berada di tengah2 temen2 Maba yg penuh semangat dan ekspresi. Sesungguhnya melestarikan tradisi sholawat di fakultas pemikiran itu amat sulit apalagi, jika berhadapan dengan namanya keilmiahan ala akademis, haha sungguh tak nyambung. Bisa juga Sekular.
..
Apapun statemen orang mengenai hal itu anggap saja anjing menggonggong kafilah berlalu. Yang terpenting adalah rasa cinta kepada nabi muhammad saw jangan sampai pudar. Tetaplah jaga tradisi yg sudah di warisi ini, semoga ada wasilah dan hikmah di dalamnya. _Subbanul yaum rijalul ghad, pemuda hari ini pemimpin hari esok_
#Sholualannabi Muhammad saw
#Salam budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde