Langsung ke konten utama
Langit Tersenyum
..
Bang Woks
Mengingat kembali pesan dari Habib Alwi al Haddad yaitu "jangan kau tangisi dan jangan kau sesali kepergian ramadhan, sebab ramadhan pasti akan datang lagi. Namun yang perlu kau ingat adalah, ketika sekembalinya ramadhan apakah kau masih ada atau tidak?".
Pesan itulah yang begitu menyentuh hati betapa bagi para perindu menjadi sebuah perpisahan yang terurai dalam rangkaian air mata yang menetes. Sepanjang perjalanan selalu di syukuri hingga ia akan segera pergi.
Setelah kepergian ramadhan kita juga akan di suguhkan dengan pemandangan yang begitu mengakar dalam masyarakat kita yaitu permohonan maaf. Entah itu di sampaikan melalui dunia nyata (jabat tangan atau saling berpelukan) maupun di jagat maya (melalui tulisan, gambar atau video). Begitulah hari raya setelah menyambut kemenangan di hari nan fitri.
Rasanya di hari kemenangan itu memang yang ada hanya cinta, sehingga segala macam kesalah dan kesalahpahaman telah di hapuskan dalam kamus kehidupan kita pada hari ini. Semua karena ada rasa maaf dan saling memaafkan. Seluruh vibrasi mengakui kesalahan sekecil apapun dari seluruh penjuru dunia menyambung menjadi satu, saling connect antar satu sama lain. Memaafkan begitulah resep yang mujarab dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang selalu di naungi rasa emosi.
Andai ramadhan memang sudah pergi tapi segala macam angkara telah terselesaikan, rasanya aman dan damailah jiwa.
Semoga jika kita lihat bumi sejuk dengan saling memaafkan niscaya langit tersenyum melihatnya. Mentari pun tanpa ragu menyinari dunia ini. Air tanpa sungkan mengalir dengan derasnya. Semoga Allah swt berkenan mempertemukan kita dengan ramadhan lagi.
Selamat hari raya idul fitri 1439 H. Lebaran dan saling memaafkan untuk seluruh ummat.
Damai Indonesiaku
#Salam_Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde