Langsung ke konten utama
Sebuah Kritis Sosial
..
Bang Woks
Budaya berasal dari kata budi dan daya begitulah Ki Hajar Dewantara mengatakanya, yang berarti akal budi, ciptaan akal atau hasil karya cipta manusia. Menurut Selo Soemardjan, dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Begitulah masyarakat memaknai sebuah kebudayaan. Tentunya masyarakat Indonesia umumnya menyukai sesuatu yg bersifat seni. Karena masyarakat memiliki tipe pola tontonan, sehingga kita dapat membandingkan bagaimana suasana tontonan dan tuntunan. Hal itu bisa kita telusuri dari dakwahnya para wali dengan menggunakan metode kultural.
..
Dalam berkesenian biasanya masyarakat cenderung melihat kondisi pasar atau istilah kerenya memodifikasi. Salah satu kesenian yg berkembang pesat di daerah saya yaitu kesenian Singa Dangdut. Kesenian ini adalah hasil modifikasi dari kesenian Sisingaan yg ada di kabupaten Subang, perbedaanya hanya pada penambahan musik dangdut, bentuk miniatur boneka singa dan alat pelengkap lain seperti berokan (boneka badut) dan sound sistemnya.
..
Sejak kecil hingga kini saya sangat menyukai kesenian ini, bahkan saya sangat terobsesi ingin menjadi salah satu bagian dari mereka istilahnya adalah panjak (crew). Dulu ketika saya kecil dimana kesenian singa dangdut itu berada, sedang di tanggap (pentas) biasanya di hajatan orang yg mengkhitankan anaknya, di situlah saya berada, maka tak jarang saya sering kena marah bapak karena keseringan pulang sore, lupa makan lupa mandi bahkan lupa sholat. Cuma demi melihat Singa dangdut tampil. Bahkan saya mengoleksi nomor kontak dari masing2 grup Singa dangdut itu. Maklum jika orang sudah cinta tembok cina pun tak akan jadi penghalang. Kemana langkah air bermuara disanalah akar menyusurinya. hehe
..
Di sesi akhir kesenian ini biasanya menyuguhkan atraksi sulap dan segmen itulah yg paling di tunggu2 anak2 kecil, apa lagi sulap yg dapat mengeluarkan jajanan (kue) dari kotak ajaib (itupun entah dari mana asalnya), tapi ya ramai saja.
Makin lengkap juga dengan di iringi musik dengan lagu khas pantura seperti; Dian Anic– Bapane Senok, Didi Pantura New – Aja Jaluk Kawin, Tati Mutia-keloas, Dian Sastra-keder balike, Dewi Kirana-Demen Mlayu-mlayu, Susy Arzetty New – Puas Ladas, Erna Farvisa – Hubungan Terlarang, Yuli Santika Jaya YULI AMOY – Jaluk Pegat dan lainya.
Rata-rata lagu tersebut sangat laris manis bak kacang goreng karena syairnya tentang percintaan dan rumah tangga jadi, orang sangat familiar dengan keadaan itu. Tapi sungguh ironi banyak juga yg percis dengan lagu2 tersebut. Di daerah tempat saya tinggal pun banyak keadaan rumah tangganya seperti judul lagu tersebut (Randa Taiwan dan Duda Araban). Tak jarang pula walaupun ada istilah Prenatal education (pendidikn pra lahir), ibu hamil tetap suka lagu itu di banding dengan qur'an dan sholawatan. Miris...
..
Tak jarang kesenian itu mengganggu lalu lintas, walaupun sejenak. Karena singa dangdut itu di arak keliling kampung. Ada hal lain yg mungkin membuat geram sebagian orang seperti, anak-anak yg suka joget di depan sound sistem besar yg memuat para crew musik, di sanalah muncul istilah "Ganjel Sound". Artinya menahan sound agar tak melaju begitu cepat. Hanya orang2 pemberanilah yg mampu menahanya. Salah satu keberanian itu muncul dari pengaruh alkohol biasanya, alkohol atau anggur merah di sediakan tuan rumah dalam minuman yg biasanya di bawa menggunakan ember pada gerobak yg di surung. Tak jarang pula menimbulkan tawuran antar para pejoget dan itupun karena masalah sepele. Dorong-dorongan atau rebutan lagu siapa yg duluan di putar. Demikian itu tak ubahnya seperti pagelaran orkes (organ dangdut/tarling) yg merebutkan nyawer kepada artisnya bahkan bisa menimbulkan pembunuhan.
..
Hati saya sebenarnya sangat berontak melihat fenomena itu, namun sangat di sayangkan, siapa saya. Saya hanyalah anak kemarin sore yg ingusan lagi bau kencur, bahkan untuk berfatwa pun tak berdaya apa lagi bertindak.
Jika sudah begitu lalu apa yg akan kita BANGGAKAN...??
Selamat merenung.
..
#Salam budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde