Menggugat Santri Kekinian
..
*Oleh Bang Woks
Cliffort Geertz ketika meneliti jawa tepatnya di mojokuto ia mendapatkan istilah yg sampai saat ini sangat populer di kalangan para peneliti walaupun istilah itu masih banyak pertentangan dari para sarjana. Istilah itu yaitu abangan, santri, dan priyayi. Tentunya trikotomi itu hanya sebuah pelabelan belaka. Seperti halnya istilah santri, apakah berkonotasi hanya kepada mereka saja yg kaum putihan, suka mengaji dan sebagainya. Dan apakah kaum abangan selalu berkonotasi negatif??. Nah disinilah yg patut kita pahami.
..
Menjadi santri adalah dambaan bagi sebagian orang. Akan tetapi bagi sebagian lagi menjadi santri adalah momok yg menakutkan karena akan terus berkecimpung dalam dunia yg mengekang (katanya). Santri adalah mereka yg menuntut ilmu agama dan akan kembali kemasyarakat untuk mengabdikan ilmunya. Istilah santri sendiri muncul dari bahasa sansekerta yaitu shastri yg berarti setara dengan sastra atau kitab suci (melek ilmu agama) dan ada yg mengatakan dari kata cantrik yaitu pembantu atau resi.
..
Ada pemandangan unik atau dalam bahasa lain jika membahas santri sekarang seperti ada pergeseran nilai. Istilah pondok pesantrenpun seiring berjalanya waktu mengalami banyak versi ada, pondok salaf, pondok modern dan pondok kewirausahaan dan lain sebagainya.
Sejak era milenium pondok pesantren sudah tidak ada bedanya, istilah demi istilah seperti hanya sebuah brand belaka, sekarang istilahnya melebur jadi satu menjadi seperti pondok modern kecuali pondok yg mungkin benar-benar salaf sesuai dengan sistem klasikal dari dulu hingga sekarang yg masih di pertahankan.
..
Yang sesempit saya ketahui santri-santri sekarang sudah banyak yg berhubungan dengan teknologi. Padahal itu dalam lingkungan pesantren dengan label salaf. Dulu saya pernah mondok di salah satu pesantren salaf dan nyatanya di dalamnya sedikit sekali peninggalan dari istilah kesalafanya seperti, istilah ro'an, ngaji kitab kuning, pasaran, pasan dan lain sebagainya.
Titik tekan tulisan ini bukan berarti setiap pondok pesantren harus kembali ke masa kuno, bukan. Melainkan virus-virus modernitas sudah menyebar ke setiap kamar di pesantren. Saya sering melihat kebanyakan santri lebih mementingkan gadget dari pada kitab kuningnya. Bermain game online seperti CoC lebih diminati dari pada mengikuti mutholaah bersama, syawir bersama atau bahkan tahlil. Dalam acara ngaji diniyahpun maknoni (memaknai) kitab gundul bisa di kalahkan dengan lebih mementingkan chat-demi chat yg harus di balas dalam rangkaian pesan whatshapp atau inbox facebook. Jika para santri trus mengandalkan istilah "ngalap barokah" akan tetapi pandangan mereka sendiri di alihkan dengan gadget lalu apakah hal itu dapat di benarkan dalam setiap tradisi santri yang ada??
..
Jika di prosentasi memegang kitab kuning, membaca al-qur'an dan hafalan kitab lebih sedikit dari pada memegang gadget. Sangat miris memang, akan tetapi masuknya teknologi tidak bisa di tolak. Dan kita tidak bisa selalu menyamakan zaman dulu dan zaman sekarang. Hal yang harus kita benahi adalah bagaimana santri dapat bijak dalam memahami fungsinya. Dimana ia dapat berfikir kapan ia berteknologi dan kapan ia harus mengaji. Tentunya dari setiap pengurus pondokpun harus melihat dari banyak sisi seperti, historis, sosiologi dan psikologis. Jangan terus mengedepankan peraturan pondok yg rigid dan leterlek (kaku).
..
Santri adalah salah satu garda bangsa yg dari dulu sudah mengawal arus sejarah perjuangan bangsa. Maka jangan sampai peranan santri terjajah oleh adanya teknologi. Karena sejatinya teknologi bersifat mengasyikan diri namun, sebenarnya sedang menggerogoti diri. Perlu di ingat bahwa jejak ilmu pengetahuan harus berbanding dengan jejak spiritual di pesantren itu sendiri. Jika hal itu benar2 di selaraskan maka yg akan terjadi adalah harmonisasi peradaban. Walaupun santri berhubungan dengan teknologi tapi jangan lupakan hubungan dengan Allah dengan kiai dan dengan masyarakat. Perlu di ingat bahwa mustikanya santri adalah adabiyah.
#Salam budaya
..
*Oleh Bang Woks
Cliffort Geertz ketika meneliti jawa tepatnya di mojokuto ia mendapatkan istilah yg sampai saat ini sangat populer di kalangan para peneliti walaupun istilah itu masih banyak pertentangan dari para sarjana. Istilah itu yaitu abangan, santri, dan priyayi. Tentunya trikotomi itu hanya sebuah pelabelan belaka. Seperti halnya istilah santri, apakah berkonotasi hanya kepada mereka saja yg kaum putihan, suka mengaji dan sebagainya. Dan apakah kaum abangan selalu berkonotasi negatif??. Nah disinilah yg patut kita pahami.
..
Menjadi santri adalah dambaan bagi sebagian orang. Akan tetapi bagi sebagian lagi menjadi santri adalah momok yg menakutkan karena akan terus berkecimpung dalam dunia yg mengekang (katanya). Santri adalah mereka yg menuntut ilmu agama dan akan kembali kemasyarakat untuk mengabdikan ilmunya. Istilah santri sendiri muncul dari bahasa sansekerta yaitu shastri yg berarti setara dengan sastra atau kitab suci (melek ilmu agama) dan ada yg mengatakan dari kata cantrik yaitu pembantu atau resi.
..
Ada pemandangan unik atau dalam bahasa lain jika membahas santri sekarang seperti ada pergeseran nilai. Istilah pondok pesantrenpun seiring berjalanya waktu mengalami banyak versi ada, pondok salaf, pondok modern dan pondok kewirausahaan dan lain sebagainya.
Sejak era milenium pondok pesantren sudah tidak ada bedanya, istilah demi istilah seperti hanya sebuah brand belaka, sekarang istilahnya melebur jadi satu menjadi seperti pondok modern kecuali pondok yg mungkin benar-benar salaf sesuai dengan sistem klasikal dari dulu hingga sekarang yg masih di pertahankan.
..
Yang sesempit saya ketahui santri-santri sekarang sudah banyak yg berhubungan dengan teknologi. Padahal itu dalam lingkungan pesantren dengan label salaf. Dulu saya pernah mondok di salah satu pesantren salaf dan nyatanya di dalamnya sedikit sekali peninggalan dari istilah kesalafanya seperti, istilah ro'an, ngaji kitab kuning, pasaran, pasan dan lain sebagainya.
Titik tekan tulisan ini bukan berarti setiap pondok pesantren harus kembali ke masa kuno, bukan. Melainkan virus-virus modernitas sudah menyebar ke setiap kamar di pesantren. Saya sering melihat kebanyakan santri lebih mementingkan gadget dari pada kitab kuningnya. Bermain game online seperti CoC lebih diminati dari pada mengikuti mutholaah bersama, syawir bersama atau bahkan tahlil. Dalam acara ngaji diniyahpun maknoni (memaknai) kitab gundul bisa di kalahkan dengan lebih mementingkan chat-demi chat yg harus di balas dalam rangkaian pesan whatshapp atau inbox facebook. Jika para santri trus mengandalkan istilah "ngalap barokah" akan tetapi pandangan mereka sendiri di alihkan dengan gadget lalu apakah hal itu dapat di benarkan dalam setiap tradisi santri yang ada??
..
Jika di prosentasi memegang kitab kuning, membaca al-qur'an dan hafalan kitab lebih sedikit dari pada memegang gadget. Sangat miris memang, akan tetapi masuknya teknologi tidak bisa di tolak. Dan kita tidak bisa selalu menyamakan zaman dulu dan zaman sekarang. Hal yang harus kita benahi adalah bagaimana santri dapat bijak dalam memahami fungsinya. Dimana ia dapat berfikir kapan ia berteknologi dan kapan ia harus mengaji. Tentunya dari setiap pengurus pondokpun harus melihat dari banyak sisi seperti, historis, sosiologi dan psikologis. Jangan terus mengedepankan peraturan pondok yg rigid dan leterlek (kaku).
..
Santri adalah salah satu garda bangsa yg dari dulu sudah mengawal arus sejarah perjuangan bangsa. Maka jangan sampai peranan santri terjajah oleh adanya teknologi. Karena sejatinya teknologi bersifat mengasyikan diri namun, sebenarnya sedang menggerogoti diri. Perlu di ingat bahwa jejak ilmu pengetahuan harus berbanding dengan jejak spiritual di pesantren itu sendiri. Jika hal itu benar2 di selaraskan maka yg akan terjadi adalah harmonisasi peradaban. Walaupun santri berhubungan dengan teknologi tapi jangan lupakan hubungan dengan Allah dengan kiai dan dengan masyarakat. Perlu di ingat bahwa mustikanya santri adalah adabiyah.
#Salam budaya
Komentar
Posting Komentar