Langsung ke konten utama
Kuliah bersama Bapak
..
Bang Woks
Menarik jika di simak apa yang di sampaikan oleh Yuhdi Muntaha dalam bukunya Keajaiban Segitiga Cinta. Ia mengatakan begini "jika dunia adalah sekolah kehidupan tentu alam semesta ini adalah perpustakaanya, dan hal itu menjadi dasar bagi kita untuk tidak berhenti sebagai pembelajar, karena memang belajar adalah kewajiban hidup yang harus di laksanakan".
Dari hal itulah saya belajar. Dan pembelajaran tersebut tidak harus terpaku di dalam dunia akademik yang formal saja, melainkan bebas kepada siapapun dengan ruang dan waktu yang luas, termasuk dengan bapak.
Di universitas rumahan (UR), tepatnya di fakultas alam semesta (FAS) bapak adalah rektor dan juga dosennya. Segala keputusan atau bimbingan semua ada di tangan bapak. Dan semua itu amatlah lengkap dari mulai sarana prasarana, mata kuliah yang di ampu dan juga jam istirahat. Serta berbagai macam program ujian yang juga lengkap tersedia. Lebih banyak kerja langsung di banding berteori.
Kami mempelajari banyak hal mulai dari keilmuan alam ala fisika, kimia, biologi sampai keilmuan agama dan politik. Dan tentunya semangat Ta'lim dan education selalu berasaskan Islam yang long time education, minal mahdi illa lahdi. Pendidikan yang benar-benar menyelaraskan dengan nilai-nilai agama yang kuat. Tak jarang sekali pertemuan saya sudah mendapat paket komplik 24 SKS. Walau kadang kelelahan juga.
Tidak jarang pula antara pengampu kebijakan dan mahasiswa sering sekali bentrok alias beradu argumen terutama soal topik sosial, politik dan masalah keagamaan yang menyangkut seputar fiqhiyyah. Tapi semua itu hanya menjadi corak pemikiran saja, tidak pernah berlarut-larut kepada perdebatan yang panjang. Justru dari hal itulah yang menambah kita memperkaya khazanah keilmuan. Karena pujangga berkata "orang pandai makan ilmu, orang bodoh berhenti belajar".
Perkuliahan biasanya aktif di malam hari. Karena waktu malam lah waktu yang pas buat sang dosen melancarkan segala aktivitas keilmuanya setelah sepanjang siang bekerja keras di sawah. Di malam itu pula biasanya perkuliahan di temani beberapa cangkir kopi plus goreng singkong hangat dengan sajian strategi ala analisis wacana. Kadang kala filsafat pertanian dan strategi perang dalam sepak bola tak luput untuk masuk dalam salah satu mata kuliah bernama ilmu strategi dan perbandingan alam. Metode kuliahnya sendiri di sampaikan dengan metode ceramah dan metode hudhuri yang penuh dengan filosof. Kadang mahasiswanya di buat bingung juga.hehe
Tapi memang benar rasanya seperti kuliah asli. Sang mahasiswa sering banyak kewalahan dalam meladeni sang dosen tersebut terutama dalam debat dan diskusi. Salah satu faktornya mungkin experience dan jam terbang. Padahal sebelum memulai pembahasan sang mahasiswa berusaha keras untuk belajar sebelum akhirnya kalah juga. Sehingga penilaian akhir ada pada semua keluarga atau bahkan tetangga. Maka dari itu jika sang mahasiswa mendapat nilai C+ apalah daya, kepasrahan adalah senjata terakhir yang di keluarkan.hehe
Enaknya kuliah dengan bapak ialah kita tidak usah repot untuk bayar semesteran, kita cukup membantunya mungkin di sawah atau menjemur padi jika memang ia petani, dan keuntungannya malah kitalah yang di bayar yang biasanya di sebut USJ (uang sangu jalan). Tapi minta sangunya melalui keputusan administrasi alias bendahara umum yang disebut IBU. Sehat terus bapak dan ibu.
#Salam_Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde