Langsung ke konten utama
Tak ada judul
..
Ketika aku mendengar bahwa jurusanku berada pada pucuk senapan alias akan mati atau dalam fenomena tasawuf adalah melebur diri, maka disitulah aku merasa sedih. Betapa tidak, hal-hal yg selama ini di gagas dan di perjuangan sepertinya sia-sia seperti;
..
Seminar psikologi belajar pada anak, Seminar Nasional psikologi indegenous, Seminar Nasional kesehatan jiwa,Taddabur alam, Kunjungan ilmu ke RSJ Ghrasya Sleman jogja, Forum diskusi keliling, Pelatihan dan rukyah massal.), Pelatihan hipnotherapi, Pelatihan tari sufi, Pelatihan bekam, Pelatihan menulis essai, TPT tasawuf psikoterapi training, Bagi ta'jil wilayah v kediri, Jalan sehat hari kesehatan jiwa bersama anak ABK, Stand & Drama abu nawas PSKM, MANTAP majelisane tasawuf psikoterapi, Diskusi KTP, Buletin TP, Kajian psikologi indegenous, Tumpengan dlm rangka ruwatan gedung, Bagi bunga HKJS, Safari ramadhan panti asuhan, Simposium TP Uin Walisongo semarang, Civitasi jurusan dan Audiensi Akbar KTP dll.
Maka setelah ku fikir kembali hal-hal yg di gagas di atas dapat menjadi sebuah pertanyaan yg bersifat fundamen yaitu, apakah jurusan dengan mahasiswa seproduktif itu akan mati seiring dengan peminat yg berkurang atau tergerus zaman??. Padahal semua yg di lakukan teman2 tidak sedikitpun bercampur tangan dengan doktrinal birokrasi, semua berjalan sendiri apa adanya. Maka banggalah yg merasa memiliki jurusan ini. Jikapun kebanggaanku akan segera di akhiri dengan kematian, tentunya aku berharap mati membawa harum wangi semerbak.
..
Status ini bukan melulu soal baper, tapi soal kenyataan. sebagaimana pil pahit di telan mentah-mentah tanpa air. Orang psikologi tapi tidak mencerminkan kepsikologianya, mending mereka para musisi jalanan mengerti perasaan teman2 nya. Lalu jalan apakah lagi yg harus aku tempuh? jalan yg dapat menghentikan dari akar kematian ini. Ya minimal memperlambat. Apakah ini yg di sebut proses membumikan tasawuf. Atau berfikir dengan menemukan epistemologinya. Sedangkan komponen di dalamnya tidak belajar sama sekali, minimal melihat kemana arus air beriak bergelombang. jangankan melihat air sekedar menyapa anginpun tak mau.
..
Mungkin sekarang kita harus mengikuti kata KH Zaini Mun'im mursyid thariqoh di PP Nurul Jadid Paiton beliau mengatakan "tasawuf yg berkaitan dengan karomah itu ada dua hal pertama kauniyah dan ilmiyah" nah yg ilmiyah itulah di peroleh dari ilmu pengetahuan sehingga orientasinya ke science for mankind. Bukan science for science yg kenyataan sekarang tidak menyejukan dalam kehidupan.
Lalu apakah yg paling berharga di dunia ini??. Memang benar tiada hal yg paling berharga selain akhlak yang baik. Mustikanya ilmu adalah adabiyah.
Semangat terus mahasiswa KTP.
..
#Siapa kita??
#KTP
#salam budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde