Langsung ke konten utama

Genjring Budaya Pantura

Woks
..
Genjring dangdut itulah nama yg kini sudah di modivikasi dalam gubahan versi dangdut, dulu namanya genjring rodat. Kesenian ini nama lainya adalah Adem Ayem. Dalam bahasa Indonesia kesenian ini adalah sirkus ala badut namun bersifat tradisional. khusus anak yg lahir angkatan 2000an mungkin tidak akan tahu tentang kesenian ini. Kesenian ini lebih di sukai para orang tua kita dulu.
..
Genjring ini belum banyak yg mendokumentasikanya, maka saya tergerak sabagai pemuda cinta budaya saya mendokumentasikanya walau hanya seutas tali dalam jepretan kamera. Kesenian ini terdiri dari seperangkat alat musik yg terdiri dari bedug, TARLING (gitar lan suling, organ dan gamelan utamanya gong, kenong dan pastinya genjring (rebana/terbangan).
Aksi teatrikal pemainya yg membuat suasana menjadi tegang, ada yg naik ke atas tangga yg tingg, penari ular, sepeda berdiri di seutas tali, di pecut, makan beling, di kurungi jadi sintren dan di tambah ada serial drama (lelakon) juga ada bodornya (komedian). Dengan alunan lagu2 klasik seperti; sumpah suci, pemuda idaman, turun sintren, angin sore dll nya menambah sendunya suasana tempo dulu.
..
Kesenian ini sangat sulit sekali di temukan, karena seiring perkembangan zaman, kesenian ini makin redup di tambah ada master magician dlm permainan sulap, sehingga menggantikanya. Hal sederhana yg kita dapatkan dari kesenian ini yaitu KESEDERHANAanya. Dalam kesenian genjring ini orang membaur tanpa panda STRATA SOSIALnya, mereka hanyut dalam alunan melodi musik tarling yg khas pesisir itu.
Dalam hal ini menurut teori sosiologi di jelaskan bahwa manusia itu adalah HUMAN OF ART, manusia sebagai pencipta budaya dan penikmatnya. Sehingga pantas saja para wali berdakwah dengan cara pendekatan BUDAYA, bukan perang yg ANIAYA.
Begitulah singkatnya. Semoga para pemuda lebih melek lagi budaya leluhurnya. Dan mau mencintainya.
..
Kesenian itu coba saya abadikan dalam grup genjring dangdut Tri Jaya pimpin Mimi Titin dari desa Cikedung lor kecamatan Cikedung kabupaten Indramayu no.hp.081313419134.
..
Mungkin anda sekedar berpartisipasi dalam kotak berjalan, atau nyawer. mangga. sribu dua ribu. Niatkan saja shadaqoh. buat kringat mereka. hehe. Saya jg siap menampung. wkwkwkwk
..
#Salam budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde