Langsung ke konten utama
Sinau Bareng Cak Nun STKIP PGRI Tulungagung
..
*Oleh Bang Woks
Ketika mendengar Cak Nun dan Kiai Kanjeng akan perform di tempat yg dekat otomatis jauh-jauh hari aku harus mengkosongkan jadwal agar dapat belajar bersama dalam majelis maiyahnya beliau. Dan akhirnya waktu yg di tentukan dapat terkabulkan pada 28 agustus 2017. Dengan semangat aku berasama kawan2 KTP-15 berjalan kaki beriringan dengan orang2 yg berpeci merah dan putih menuju TKP.
..
Genderang syair-syair lagu jawa, arab, barat dengan instrumen gamelan jawa dan musik modern bersenandung merdu mewarnai suasana sebagai sebuah sambutan kepada jamaah yg membludak. Di perkirakan jamaah yg hadir sekitar 2000 orang yg tersebar dari depan panggung, samping kanan kiri dan berjejer hingga depan pintu gerbang.
..
Bicara hadir dlm majelis maiyah pasti bicara hasil. Alhamdulillah banyak hal yg aku dapati dari jamaah, dari kiai muzammil, kiai kanjeng dan utamanya dari Cak Nun. Seperti ketika beliau bercerita bahwa ada istilah Kediri dadi kali, Blitar dadi latar dan Tulungagung dadi kedung. Maksudnya adalah kediri seperti kali di karenakan dinamis mengalir, maka banyak sekali sesuatu yg unik dari kota ini. Blitar juga menjadi kota latar artinya banyak pementasan disana. Nah sedangkan Tulungagung itu kedung artinya, tempat bersumbernya air, jikapun air itu di ambil maka tak akan ada habisnya.
..
Jika mengambil terminologi dari tema acara yaitu, pendidikan dan kebudayaan di hari kemerdekaan maka istilah kota2 di atas bisa di artikan trikotomi Kiai gentong, kiai ceret, dan kiai talang. Kiai gentong berarti mengambil ilmu sebanyak banyaknya dan tempatnyapun harus lebar seperti gentong. Kiai ceret artinya hanya mampu memberikan saja sedang ia tak berefek apapun. Sedangkan kiai talang adalah tak beraturan. Maka dalam hal ini kiai gentonglah yg harus di optimalkan untuk di gali pengetahuanya.
..
Ketika gus dur di lengserkan dari istana Cak nun bercerita dan menuturkan pertanyaan kpd gus dur namun beliau tetap menjawab dengan guyonanya. Gus mengapa anda keluar dengan memakai celana kolor saja? tanya cak nun. Gus dur menjawab "ya biar keren saja, sebab sejak zaman firaun belum ada presiden kayak saya haha". Begitulah yg kudapati. Sebenarnya masih banyak hal yg ingin aku tuliskan namun keterbatasanku membuatku mencukupkan sampai sini saja.
..
Hematnya dari majelis ini adalah dapat berbaur dengan masyarakat dan dapat menghadirkan Allah di setiap sisi kehidupan. Jangan sampai sedetikpun Allah tidak ada pada hatimu. Begitulah cak nun memberikan pesan kepada jamaahnya bahwa jangan sampai berani-berani dengan yg maha memberi hidup. Syukurilah kehidupan yg indah ini. Jika kamu orang jawa ingat jangan lupa jangan meninggalkan kejawaanmu. Mari berdoa bersama-sama semoga Allah memberikan anugerahnya untuk negeri ini agar dapat memberikan pemimpin para generasi muda yg mencintai negerinya.
Malampun semakin larut dan akhirnya aku pulang dengan terlebih dahulu bersalaman dengan beliau dan membawa cerita berharga.
..
#Salam budaya
#Wokolicious

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde