Langsung ke konten utama

Transformasi Retorika

Transformasi Retorika
Mendidik lisan dan Telinga
Ketika khutbah idul fitri yg sudah ku lalui di pagi yg cerah tadi, aku mendapati hal yg unik sehingga aku menuliskanya kembali walau sekedar bait-bait dalam status.
..
Pada moment shalat idul fitri kali ini yg tampil sebagai imam sekaligus khatib adalah seorang pemuda. Alhamdulillah sepertinya ini KODE untuk penampilan yg muda. Ehh ternyata ada yg lucu ketika akan mulai shalat yaitu KELUPAAN (maklum namanya juga manusia). Kelupaanya yaitu langsung membaca alfatihah tanpa takbir 7 kali, sehingga shalat di ulangi. Sehingga masyarakat bengong, khususnya jamaah ahlul pojok (paling belakang). Hal yg demikian itu menjadi problema, disisi lain ada pemuda di sisi lain yg tua tak mau mengalah. Maklum masyarakat melihatnya jam terbang dan usianya.
..
Ketika di sampaikanya khutbah, seperti biasanya masalah klasik tumbuh subur yaitu PARA IBU-IBU ikut berkutbah juga di belakang (gosip, ngomong2an), hal yg demikian menjadi sesuatu yg tak akan pernah terhindarkan, sepertinya dimanapun.hehe
..
Maka dari itu salah satu fungsi khatib menyampaikan khutbahnya yaitu supaya para jamaah setidaknya mendapat 2 hal. Pertama, mendidik lisan untuk diam, karena ada kata fa ghat lagho, atau bisa juga untuk menghargai orang, artinya dapat memfungsikan dimana tempatnya. Kedua, mendidik telinga. Terkadang yg kita bisa adalah berkata tanpa mau mendengar. Hal ini lah biasanya menjadikan faktor pembeda antara pria dan wanita. Kata KH. Mustofa Bisri beliau dawuh "ada waktu dimana mulut berkata, juga ada dimana kita menjadi pendengar yg baik".
..
Cara penyampaian dalam berkhutbah sendiri seharusnya kita persiapkan jauh2 hari, syukur2 bisa memberikan sajian yg membuat jamaahnya terpukau dan mau mendengarkan atau bahkan sampai menitikan air mata dan mau merubah sikap. Akan tetapi sejauh ku teliti para pengkhutbah rata2 membuat si jamaah mengantuk. hehe. Nah inilah yg seharusnya menjadi PR khususnya buat pemuda jika suatu saat menjadi pengganti para tiyang sepuh, maka hàrus memikirkan esensi inovasi. Agar termanivestasi kepada para pendengar semua.
"Tiadalah kebodohan di dunia ini jika kita mau belajar"
#Salam budaya
#Wokolicious

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde