Langsung ke konten utama
Tasyakuran Haji
..
Bang Woks
Di panggil oleh Allah swt untuk berkunjung ke Baitullah adalah dambaan sebagian besar orang Islam. Karena momen itulah banyak orang percaya bahwa anugerah Allah turun melebihi kota lain selain di makah dan madinah. Orang rela berdesak-desakan dengan ribuan ummat dari seluruh penjuru dunia. Demi dapat berkunjung ke tempat kelahiran nabi Agung Muhammad saw, juga tempat beliau wafat. Bahkan rela mengumpulkan pundi-pundi rupiah sejak dari nol dan harus bersusah payah demi ingin kesana.
..
Di Tulungagung sendiri berkembang tradisi tasyakuran haji. Sebuah tradisi yg sangat familiar di telinga masyarakat sekitarnya. Istilahnya adalah "jagong kaji" yaitu menunggu atau menghadiri dan meminta di do'akan agar mendapat cipratan barokah dari orang yg baru saja pulang dari beribadah haji.
..
Aku sendiri berkesempatan mengikuti salah satu rangkaian dari acara tasyakuran itu yaitu menjadi pembawa acara dan kebetulan temanku sendiri sebagai tuan rumahnya. Aku amat kaget ketika akan berangkat ke TKP. Ternyata aku berangkat dengan mobil dan semobil bersama dengan kiainya yang akan mengisi ceramah. Kiainya adalah beliau bapak Prof Dr KH Hasyim Nawawi, MH. M.Si beliau adalah guru besar Ilmu fikih di Fakultas Syari'ah dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung. Dari beliau aku belajar banyak hal seperti, beliau mengingatkan bahwa mahasiswa itu juga selain pandai dalam ilmu umum juga harus pandai dalam ilmu agama, salah satu caranya dengan mengikuti pengajian di pondok pesantren. Dalam bahasa jawa "masih gelem ngaji". Karena beliau berlatar belakang pesantren maka beliau mengingatkan bahwa hidup itu tidak hanya butuh ilmu pengetahuan tapi juga butuh ilmu spiritual untuk mengisi aspek batin yg selama ini banyak orang yg meninggalkanya. Beliau adalah orang yg mencintai ilmu pengetahuan terutama ilmu fikih terbukti, ketika beliau mondok beliau meresume kitab iqna yg jumlahnya dua jilid dan sampai kini resuman itu masih ada. Bahkan kerendahan hati beliau tampak walaupun sudah jadi profesor, beliau merasa perlu banyak belajar lagi di pondok pesantren.
..
Salah satu unsur dalam acara tasyakuran haji adalah bentuk penghambaan kepada Allah dan berperan aktif pada aspek sosial. Kita di beri keselamatan dapat pulang ke tanah air adalah nikmat yg amat besar sehingga, hal itu perlu di syukuri. Disisi lain masyarakat merasa di untungkan dengan adanya acara tasyakuran ini walaupun tidak setiap hari.hehe
Walaupun banyak ritual dalam ibadah haji yg tidak masuk di akan seperti melontar jumrah, mencium hajar aswad, sa'i dan lainya tetap saja akan terasa nikmat bagi mereka yg merasakanya, sebab dimensi ritual ini bukan di logika tapi di rasa.
..
Labbaikallaahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, innal hamda wanni’mata laka wal mulka laa syariika laka.
..
#Salam budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde